Translate to your Languange

12/02/12

Shadow of the Past


Prolog
    Kebahagiaan seakan menjauh. Sepertinya bumi tak pernah berpihak pada Tasya. Senyuman yang dulu bersemi, sekarang hilanglahsudah. Kini tidak ada tempat untuk mengadu tangisannya.
Tasya, seseorang yang patut di kagumi, pintar nan polos.  Wajahnya cantik berkulit putih. Sahabat  yang paling mengerti Tasya hanyalah Kevin dan Tania. Mereka selalu ada untuk Tasya. Kevin dan Tania adalah sahabat yang takkan pernah terlupakan. Semuanya berjalan baik, sampai suatu hari semua berbalik. kevin dan Tasya tak menyangka Tania akan berpulang sangat cepat. Kecelakaan pesawat terjadi begitu saja. Begitu juga dengan Kevin. Ia pergi meninggalkan teman dan sahabatnya dari sekolah.
Setelah kevin pergi, Tasya tak seperti biasanya. Setiap hari Tasya tidak bisa menyesuaikan dirinya. Hatinya masih teringat akan kesan – kesan yang mereka lakukan setiap hari.  Tasya menjadi penyendiri. Ia tak bisa menyamakan teman yang lainnya seperti Kevin dan Tania. Sahabat, hanyalah mereka yang bisa membuat Tasya bahagia seperti dulu.
Beberapa tahun kemudian, Tasya beranjak menuju Sekolah menengah pertama. Awal yang menyenangkan, memiliki teman baru, sekolah baru, seragam baru, tapi ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. Teman – temannya yang baru menanggap Tasya pendiam untuk di jadikan seorang teman. Tasya selalu melakukan berbagai hal sendirian. Sebenarnya Tasya ingin memperbaiki keadaan seperti saat sebelum Kevin dan Tania pergi, namun ketika ia mulai masuk menjadi murid SMP, semuanya menjadi berubah. Ia malah teringat akan memorinya saat masih di sekolah dasar. Ia belum siap meninggalkan sekolah lamanya. Disana terlalu banyak ingatan yang tak bisa ia lepaskan.
Kesepiannya didorong oleh sesuatu yang tak pernah ia sangka. Ia tahu kalau ia bisa melihat hal gaib yang tak bisa dilihat oleh orang lain. Tasya tak pernah memintanya. Yang ia minta hanyalah kembali bersama sahabat lamanya. Tasya hanya bisa menangis jika mengingat kepergian Tania. Tasya menyesal. Jika ia mengetahui kekuatannya lebih dahulu, mungkin Tasya bisa menyelamatkan Tania. Tapi, takdir memang tak bisa di hindari.

Kasus yang tak terpecahkan
Duduk termenung seperti patung, hanya itu yang Tasya lakukan ketika istirahat. Orang – orang yang lewat menganggap Tasya seperti orang aneh. Perasaan senang selalu datang untuknya jika merasakan angin berhembus. Kenapa kadang aku ingin menjadi angin? Itu yang selalu Tasya tanyakan dalam hati kecilnya.
“ de, kenapa diam aja dari tadi?”Tiba-tiba seorang murid duduk di sampingnya melihat Tasya diam termenung sendirian.
“Oh, ngga. Ada apa kak?” Suara Tasya benar-benar pelan. Kakak kelas itu memfokuskan diri pada suara Tasya.
“Ini, kakak mau mempromosikan untuk pendaftar OSIS. Kamu mau coba ?” Ucapnya bersemangat.
“OSIS? Ah, aku tidak ada bakat untuk jadi pengurus OSIS.” Tasya merundukan kepala. Di wajahnya terdapat sesuatu yang tidak dapat di jelaskan.
“Tidak apa-apa. Kamu coba daftar saja dulu, nanti kakak bantu. Tolong ya dik. Kalau kamu mau jadi OSIS, kakak juga beruntung.” Nadanya kini lebih tinggi dari sebelumnya. Matanya mulai melotot tidak menakutkan.
“Emangnya kalau aku ikut kenapa kak?” Tanya Tasya.
“Kalau kamu ikut jadi pengurus OSIS terus keterima, Kakak bisa dapet poin tambahan.” Kini telunjuk kanannya mengangkat-angkat seperti seseorang sedang berpidato, sedangkan tangan kirinya masih menahan buku-buku yang tadi di dekap.
“poin?” Tasya menggaruk garuk tangan kanan tanda ragu-ragu.
“iya, Poin. Mau ikut tidak? Tolong ya de, ikut saja deh. Jadi pengurus OSIS itu tidak sulit ?sekalian tambah pengalaman,” Kakak kelas itu menyambar tangan Tasya. Tasya diam kaku tidak bergerak sedikit pun. Tangannya masih terasa lemah akibat genggaman kakak tadi.
Kalau begitu.....,” Jawab Tasya terbata-bata.
“BAGUS! Jika sudah siap waktunya, kamu bisa datang ke ruang OSIS? Terus Daftar. Jangan lupa kasih tahu kalo Kak Dea yang ngajak ya. Dah!” kak Dea segera berdiri. Tangan lembutnya melepaskan genggaman dari Tasya. Dalam hatinya Tasya sangat senang karena ajakan kakak tadi. Ini kesempatan keduaku, Ambillah!  Tasya tersenyum melihat ke langit.
Tasya kembali ke kelasnya. Tapi, tidak ada guru sama sekali. Setelah menunggu beberapa menit, Mrs.Farah masuk dengan seorang murid laki-laki di belakangnya. Wajahnya putih bersih, tingginya Ideal. Tampangnya pun sudah terlihat pintar.
“Sepertinya kalian sudah tahu siapa dia?” Tanya Mrs.Farah. Semua orang bereaksi atas pertanyaan Mrs. Farah di lontarkan. Semua kecuali Tasya. Ia tak mendengar dan hanya memperhatikan pohon dibalik jendela.
“Namanya Kevin May. Dia pindahan dari kelas 7 – B. Karena kelasnya sudah kelebihan murid. Tolong terima ya! Silakan duduk dibangku yang masih tersedia.” Mrs. menepuk bahu Kevin. Kevin melihat kesegala arah mencari bangku tapi yang ia lihat hanya satu bangku, dekat Tasya. Kevin berjalan ke arah Tasya. Sedangkan murid di kelas yang lain masih terhipnotis dengan Kevin.
“Permisi!” mendengar suara itu Tasya langsung berbalik.
“iya, silahkan.” Tasya langsung bereaksi ketika memalingkan matanya dari pohon tua. Ia diam menyadari ada murid baru. Tasya tak bergerak. Matanya melihat wajah yang masih berada di depannya.
“ Ke...kev...kevin?” gumamnya. Ia baru menyadari bahwa orang yang berbicara padanya mirip dengan sahabat lamanya.
“Tasya? Kamu sekolah di sini?” Kevin langsung mengenali suara Tasya. Mereka saling menatap. Sahabat yang sekian lama sudah terpisah bertemu lagi. Kevin adalah sahabat dekat Tasya saat kelas empat SD hingga akhirnya Kevin pindah keluar Negara menuju Amerika.
Setelahnya mereka berbicara tentang masa lalu, bahkan saat pelajaran sampai pulang sekolah mereka terus berbicara tak hentinya.
“hahaha.....,” kevin tertawa terbahak bahak. Tasya sangat ikut tertawa walau suaranya masih pelan seperti biasa.
“Tadi, sebelum aku masuk kenapa kamu ngelamun?” Tanya kevin.
“Melamun apa maksudmu? Udah dulu ah! Udah sore nih! Nanti mamih aku ngomel lagi. Bye!” dengan sedikit kebohongan,Tasya terselamatkan dari pertanyaan yang di lontarkan kevin. Dari tadi sebelumnya, Tasya terus memohon dalam batin agar Kevin tidak mengetahui sifat yang asli setelah Kevin pergi. Itu terlalu menyakitkan bagi dirinya sendiri.
Sejak kedatangan kevin, Senyum Tasya kembali bersemi. Tak menyangka jika sahabat lamanya itu satu sekolah. Mungkin kini takdir yang sedang menemani Tasya.
Dikelas kini sedang sunyi karena pelawak kelas, Rei tidak sekolah. Tetapi, Tasya tak menghiraukannya. Kevin adalah masa lalunya yang terindah kembali terbuka, padahal sudah terkubur lama sejak ia pergi.

Sekarang sudah waktunya istirahat. Kini Tasya tidak lagi merenung sendiri di taman. Tasya sudah mulai pergi ke kantin.  Semuanya berkat seorang teman lama.
“Kevin? Kamu ikut OSIS enggak?” Tanya Tasya menyegarkan suasana di meja kantin.
“Kevin gitu! Masa aku enggak ikut?” Senyum hangat kevin begitu cemerlang. Lucunya, saat kevin tersenyum matanya menyipit seperti orang jepang.
“Bener kamu ikut? Di ajak sama kakak kelas atau daftar sendiri?” Tanya Tasya sambil menyendokkan nasi ke dalam mulutnya
“Aku? Diajak sama kakak OSIS. Kalau enggak salah namanya kak Dea. Dia agak aneh orangnya! Bikin merinding kalau dia ngomong. Hiiii....,” mendengar hal itu Tasya hampir memuntahkan nasi yang berada di dalam mulutnya. Tasya pelan-pelan mengunyah dan menelan makanan yang baru ia sendokkan.
“Serius sama kak Dea? Sama dong!” Tasya meletakkan sendok yang masih di genggamnya.
“kamu ikut OSIS, terus yang ngajak kak Dea? Kebetulan banget!” perhatian kevin teralih pada jawaban Tasya. Kevin tersenyum dan Tasya membalas senyuman yang tak kalah hangat.
“Nanti daftar ulangnya ya? Setelah pulang sekolah?” Kevin menambahkan.
“Ya. Nanti bareng aja ya, males kalau sendiri. Aku ke kelas dulu ya,” Tasya berdiri dan berlari ke kelasnya.
Tak terasa hawa semakin dingin. Bulu kuduk Tasya sudah bergidik merasakan hawa yang menyambut kedatangannya. Tapi Tasya tidak peduli, ia tetap berlari. Setiap langkah Tasya maju, semakin berubah suasana. Ada sesuatu di sana bersamanya. Tapi anehnya Tasya tidak merasakan hal itu. Lantai yang tadinya berwarna putih mengkilap, sekarang telah berubah menjadi coklat kemerahan. Cat dinding menjadi agak kusam. Orang yang berjalan di koridor memakai seragam yang agak berbeda dari yang kenakan Tasya. Tasya yang sibuk berlari tak memperhatikan. Tasya masuk ke kelas dan menarik resleting tasnya. Ketika ia sadar tidak ada resleting di tas, ia melangkah mundur tiga langkah dari bangkunya. Seketika semua hening, seakan kelas tak menyadari keberadaannya. Seorang guru berkecamata bulat dan berlensa tebal masuk diiringi dengan guru yang lain. Murid-murid masuk ke kelasnya dengan wajah yang pucat. Tasya menyadari kalau mereka bukan teman-temannya. Semua orang di kelas terduduk diam sambil menundukkan kepala. Seorang guru membacakan Pidato. Tasya terdiam tanpa kata.
“Hari ini, tanggal 15 Juni 1987, kita berduka atas kepergian seorang dari keluarga kita, Evy Hermawati kelas 7 - I. Menyusul teman kita, Ryan Pradicahyo. Semoga mereka beristirahat tenang di sisi tuhan yang maha Esa.” Kata guru itu sambil menundukkan kepala. Seorang murid maju menyerahkan foto murid perempuan. Tasya melihat foto berwarna hitam-putih bergambarkan seorang perempuan kurus berkaca mata dikepang dua, wajahnya tirus tapi menyegarkan. tiba- tiba Angin berhembus sangat kencang dan Tasya kembali ke kantin bersama Kevin. Seakan Tasya tidak bertemu dengan penglihatan pertamanya sebagai Medium.
“woi, kamu gak papa? Kayak yang abis lihat hantu aja.” Kevin menggerakan tangannya kedepan Mata Tasya. Tasya yang tadinya melotot sekarang memejamkan mata.
“dimana?” Tasya melihat sekeliling dan tidak ada apa-apa.
“dimana apanya?” Tanya kevin.
“ Kevin? Ya tuhan,” Tasya mengusapkan telapak tangannya ke wajah masih kebingungan.
“ya?” sahut kevin. Tasya hanya berkata jika ia melihat mimpi yang aneh. Tapi tidak menceritakan tentang anak perempuan berkacamata bulat itu. Ia hanya menceritakan saat belari kembali ke kelasnya. Tetapi anehnya setelah Tasya menceritakan seluruh kejadian itu kevin menengadahkan kepalanya dan tertawa.
“Mimpi di siang hari itu sering terjadi. Tenang,”  kevin melihat wajah Tasya seakan hanya bercanda saja. Tasya menggelengkan kepalanya.”Itu memang mimpi. Tapi mungkin bakal jadi kenyataan,” tak sadar Tasya hampir membuka Identitas sebenarnya.
“Kenyataan? Kamu kaya peramal aja.....,” Dengan rasa yang tak terjelaskan, Tasya mendadak berdiri dan mengambil tiga langkah mundur ke luar kantin. “Kamu mau ke mana?” tanya kevin sambil mengikuti gerakan Tasya.
“tidak....,” sebelum Tasya menyelesaikan pembicaraan, bel berbunyi. Bahkan Tasya belum sempat memakan bekal miliknya. “Masuk ke kelas yuk!” Tasya cepat cepat mengambil kotak bekal miliknya dan lekas pergi tanpa menghiraukan kevin. Kevin yang melihat hal itu hanya bisa menggelengkan kepala dan tertawa “ dia masih tidak berubah,” dia tetap menggelengkan kepala
Shadowing dream
Tasya memperhatikan sebuah piano yang tua terletak di koridor sekolah. ia diam-diam memainkan piano itu tanpa sedikit pun curiga. Semua warna tampak hitam putih dan buram. Sesaat ia merasa bahagia entah mengapa. Kebahagiaan itu lenyap seketika saat Tasya melihat tiga orang laki - laki menarik teman laki-lakinya dari ujung koidor. Tanpa berfikir panjang, Tasya menutup piano tua itu dan kemudian bersembunyi di baliknya. Tiga anak laki-laki itu membekam mulut temannya, kemudian seseorang dari ketiganya berhenti.
“Bagaimana kalau kita ketahuan?” kata laki-laki pertama dengan gugupnya melepaskan cengkraman dari teman yang ditariknya. “Kamu gila? Pegang lagi! Pasti kita ngga akan ketahuan. Sekarang jam 1 malam! Siapa yang akan berada di sekolah saat tengah malam? Paling juga penjaga sekolah di bawah, dan si cenayang itu!” salah seorang temannya meyakinkan. Laki-laki pertama itu kembali menarik temannya. Mereka menaiki tangga sekolah. Tasya mengikuti mereka dan sesekali bersembunyi. Tasya melewati sebuah cermin besar yang terletak di tengah ruangan. Ia melihat bayangan di cermin itu dan ternyata itu bukanlah Tasya. Ia melangkah mundur dan tidak percaya akan yang di lihatnya “Evy?” tanyanya sambil memegang wajahnya yang pucat berkecamata.
GLUADAARRRR
Tasya terbangun dari mimpi sekilasnya akibat Badai Dahsyat dan berakhir dengan petir. Seketika ia sadar , Itu hanya mimpi.... fikirnya sambil mengusap mata. Tasya membuka matanya. Ia menyadari bahwa  ada bayangan hitam terletak di ujung ruangan. Bayangan itu semakin lama tampak jelas, tak sadar Tasya mengucapkan hal yang tak terduga olehnya,
 “Evy?” Tasya langsung menutup telinga dan matanya kemudian meringkuk diujung ruangan.
“Apa yang kamu inginkan? Tolong pergilah!” teriaknya sekeras mungkin. Semakin Tasya menghindar, Evy semakin mendekati Tasya.
            “Aku tahu kamu seorang medium,” mendengar hal itu, Tasya membuka mata dan telinganya. Evy tersenyum pada Tasya seakan ia tahu segalanya. Tasya mencoba untuk memberanikan diri kepada Evy.
            “ Luruskan segalanya! Pembunuhku, dia masih ada di luar sana,” Evy memejamkan matanya. Ia membuka tangan mungilnya. Tasya sadar kalau Evy memberikan sesuatu padanya. “Ini milikku, Ambillah,” di Tangannya terdapat kalung berbentuk kunci silver dengan berlian kaca berwarna biru di tengahnya.
          GBRUK.....
          Angin Berhembus dengan kencangnya membuat jendela kamar menghantam bayangan Evy. BRUSH..., Seketika bayangan itu hilang. Kini Tasya sendirian lagi, Ia berdiri dan menutup jendela. Dan kembali duduk di kaki tempat tidur. Ia membuka genggaman tangannya, masih terlihat kalung kunci yang di berikan Evy, “apa yang harus aku lakukan?” ia memakai kalung itu dan terus mengamatinya. “ Memangnya, ada apa denganmu Evy?” tanyanya agak merinding. Tasya kembali ke tidurnya yang pulas.
            Keesokan harinya kelas tak ramai seperti kemarin. Tia, ketua kelas sedang pergi ke Medan untuk melaksanakan olimpiade Matematika. Begitu juga sekolah, Nadine dan Vani yang mengikuti lomba fashion show di Bandung, tidak bisa membuat sekolah heboh.
            Hari ini Tasya kebagian piket, Jadi Kevin pulang duluan. Tasya yang sedang menyapu lantai kelas tiba – tiba di kagetkan oleh Winni. Winni baru saja pulang dari ruang guru.
            “Sya, Kamu di panggil Mrs. Farah tuh,” Winni bertengger di depan pintu kelas. Tasya segera pergi ke ruang guru dimana hanya ada Mrs.Farah. Dimejanya terdapat dua buah kotak berisi tumpukan buku yang lebih mirip berkas-berkas file. Mrs.Farah tersenyum pada Tasya.
            “Duduklah,” pinta Mrs. Farah. Tasya menurutinya. Begitu Tasya duduk, Tangan Mrs. Farah menarik beberapa berkas file dari tumpukan buku tadi. Warnanya biru, sudah agak berjamur, kotor dan usang.
            “biasanya Tia yang melakukan hal ini. Tapi mungkin kamu akan terbiasa. Semua buku ini adalah catatan seluruh murid yang pernah duduk di kelas 7 – I. Tia sudah hampir menyesaikannya. Tapi karena persiapan olimpiade, pekerjaannya tertunda. Tasya, apa kamu bisa mendata ulang semua ini? Kamu bisa menuliskan laporannya disini,” Mrs. Farah menyerahkan sekotak berkas file yang tadi ada di mejanya. Tasya berdiri dari duduknya dan menerima kotak itu.
            “Tapi Mrs, bukannya Winni wakil ketua kelas?” Tanya Tasya yang masuk akal karena Winni adalah wakilnya. Seharusnya Winni yang mengerjakan semua tugas yang di berikan Mrs. Farah.
            “entah tahu mengapa Mrs lebih percaya jika kau yang mengerjakannya. Apa kamu keberatan?” Tanya Mrs. Farah setelah melihat raut wajah Tasya yang kurang menerima.
            “ah, bukan begitu Mrs. Kalau begitu saya akan kembali ke kelas,” Tasya membungkukkan badannya. Dan berpamitan pada Mrs Farah. Ia beranjak keluar dari kantor guru.
            “Mrs.Farah sangat berterimakasih.” Mrs. Farah berdiri dari duduknya.
            Dikelas, murid yang lain sedang menunggu kedatangan Tasya. Tasya masuk ke kelas tanpa ada yang mengganggu. Dalam sekejap seluruh murid yang masih belum pulang sudah ada di bangku Tasya. Mereka tertarik perhatiannya pada kotak yang dibawanya.
            “Tasya apa itu?” tanya Putri sambil menyentuh berkas yang ada di kotak.
            “berkas itu seharusnya menjadi pekerjaan Tia. Tapi karena Tia enggak ada, jadi tugasnya diserahin ke Tasya. Untung Mrs.Farah enggak ngasih tugas itu ke aku,” ucap Winni kegirangan. Tanpa ekspresi Tasya meninggalkan kelas.
            Sesampainya di rumah, seperti biasanya Ia mengganti seragamnya dengan baju biasa, makan, dan langsung menyelesaikan tugas yang di berikan Mrs. Farah.
            “Oke kita lihat.... Hmmm, Absen satu Adina mutyara, Absen dua Aji Nirwana, Absen tig,....” Tasya membalikkan halaman kembali ke halaman sebelumnya.  aji? Wajahnya mirip kayak anak yang ada di mimpi aku kemarin.... Tasya melihatnya lagi, memastikan kalau yang ia lihat bukanlah sekedar halusinasi. Tasya membuka seluruh file yang bertuliskan 1987 di sampulnya. Dengan cepat ia melihat dua anak lagi yang pernah ada di mimpinya. Bukan hanya tiga anak itu. ternyata Ia juga melihat Evy, murid yang terbunuh itu. kini seribu pertanyaan ada di benaknya,
            Siapa anak – anak ini?
            “Neng Tasya, ibu sudah pulang,” Panggil  bi Enok dari bawah. Tasya yang tadinya diam seperti patung mengetahui dengan cepat kalau tiga murid ini lah murid – murid yang terlibat dalam pembunuhan Evy. Tasya cepat – cepat turun ke ruang tamu di mana semua anggota keluarganya telah menunggu.
I’m a not a perfect Medium
        Bangku kantin memang luas, tapi tidak bisa di katakan luas jika Nadine dan Vika alias DIVA sudah beranjak duduk di dekat kalian. Hari ini Kevin sangat tidak beruntung. Dari mulai pulangnya sekolah, DIVA sudah mengikuti Kevin. Tasya sedang ada Proyek di Lab, jadi ia tidak bisa menemani Kevin. Jadi, kevin sekarang harus jadi bintang sang DIVA. Bahkan saat Kevin makan pun mereka berdua sibuk bergosip tidak karuan di depan Kevin. Kevin kini menjadi sasaran empuk bagi Nadine dan Vika.
“Kevin? Kamu kalo gaul, kok cuma sama Tasya sih? Kamu kan tahu kamu itu laki-laki, jadi mainnya sama laki- laki aja!” Nadine menyenggol tangan kanan kevin. Kini Kevin tak berdaya. DIVA adalah biang kerok dari segala hal. Mereka dapat melakukan apa saja untuk mengancurkan murid yang paling mereka benci. DIVA hanya bergaul dengan murid yang pintar. Biasanya mereka menggunakan murid murid yang pintar itu untuk mengerjakan tugas.
            “iya tuh, bener! Kamu juga kan yang paling pinter! Hei,... itu Tasya!” Vika menunjuk ke arah jam 12. Nadine melemparkan Tatapan tajam pada Vika. Vika melototi Nadine. Sementara DIVA saling memelototi satu sama lain, Kevin dengan berhati – hati dan juga cepat, ia berdiri dari  meja kantin dan secepatnya menghampiri Tasya.
            “ Tadinya aku mau bicara sama kamu, tapi ngeliat udah suka kumpul bareng DIVA jadinya ga jadi ah,” goda Tasya. Kevin menatap Tasya dengan alis mata yang aneh. Kemudian tertawa. “ Seingat aku bukan aku yang mendekati mereka tapi mereka yang ngedeketin! Ayo!”
Mereka berlari melewati koridor menuju taman sekolah.  Tasya terhenti dari larinya saat ia melihat sebuah piano tua. Persis dengan piano yang ia mainkan dalam mimpinya. Tasya mendekati piano itu dan duduk di kursi piano. Ia memainkanya dengan lembut. Tak sadar ia memainkan lagu yang sama seperti  yang ada di mimpinya. Kevin mendekat dan mendengarkan.
            “Lagu ini sangat 80-an. kamu Belajar di mana?”  Tanya kevin.
            “Aku hanya tahu,” Tasya terus menekan not piano.
“KEVIN! KAMU KE MANA?” teriakan DIVA membuat semuanya berantakan. Kevin dan Tasya sadar jika mereka di buntuti. Terpaksa Tasya harus menghentikan pertunjukannya.
“taman! Akhirnya sampai juga. Kamu yakin mereka gak akan ngikutin kita sampai ke sini?” Tanya Kevin.
“badanku lemes!” Tasya jatuh kecapaian. Ia bangun dari tanah yang kotor dan berdebu, dan duduk di bangku taman. Kevin ikut duduk di sebelah sahabatnya.
“kalung yang bagus. Beli di mana?” Kevin memandangi kalung milik Evy. Tatapannya seperti hanyut terbawa ombak. Kevin mendekati kalung Evy. Matanya terhipnotis oleh keindahan kunci itu.
”Ini? Ini dari temanku,” Tasya memandangi kunci silver itu. Evy, siapa sebenarnya dia? Bagaimana dia tahu akan Tasya seorang medium. Banyak sekali hal yang belum terjelaskan.  
“Tadi katanya mau bicara? Bicara apa?” Sela kevin.
“Oh, iya.  Sebenarnya aku punya satu rahasia kecil yang aku simpan sejak masuk ke sini. Tapi aku belum kasih tahu siapa-siapa selain orang tuaku,” Tasya terlihat gugup mengingat kalau ia adalah seseorang yang mempunyai bakat yang berbeda dari temannya yang lain. Tangannya berpegangan satu sama lain seperti penyanyi choir.
“Jadi, ternyata kamu punya rahasia gelap juga? Ya ampun, aku kira kamu orangnya polos. Ternyata punya sesuatu juga. Apa rahasianya, cepat beritahu! Aku ngga sabar!” Kevin mendekati wajah Tasya sambil membuka telingnya lebar-lebar.
“a....aku....Aku seorang medium. kau tahu, orang yang bisa melihat orang mati,”
Mendengar hal itu kevin menegakkan badannya dan melihat wajah Tasya seakan belum percaya. “Kamu seorang medium?”  tiba-tiba Kevin berdiri dari duduknya. Kevin tertawa. Tawanya semakin meledak. Kevin mengira Tasya hanya bercanda. Tasya yang kaget dengan tanggapan kevin ikut berdiri dan mendorong Kevin ke sisi lain. Kevin terkejut melihat Tasya bereaksi seperti itu.
“KEVIN! Aku gak bercanda! Kenapa ya, setiap kali aku bicara serius kamu nganggep aku tuh kaya orang bodoh! Setiap kali aku cerita sesuatu, kamu itu ketawa melulu! Aku kira kamu masih kaya dulu. Mungkin kamu kena demam Amerika kali ya? Mulai hari ini, terserah! kamu mau main sama DIVA, mau jadi sahabat orang lain, Terserah! Aku ga peduli!” Tasya berjalan pergi ke arah perpustakaan. Kevin tak bisa berkata-kata. Tak biasa ia menerima teriakkan dari seorang teman. Bahkan belum pernah sekalipun. Ini adalah pengalaman pertamanya dalam 7 tahun mengenal Tasya.
“BAIK! Terserah aku mau sama siapa juga! Dan ingetin aku lagi ya, untuk jangan pernah main dan gaul sama orang kaya kamu!” Teriak kevin sambil berjalan ke arah berlawanan.
Tasya dan kevin memang berbeda sejak berpisah. Kini perbedaan itu tidak bisa di persatukan kembali. Padahal Kevin dan Tasya saling mengagumi satu sama lain. Hanya karena berbeda dunia. kevin, ia adalah orang pintar yang mengandalkan logika dan Tasya adalah seorang medium yang percaya dengan apa yang dilihatnya.
Singkat cerita......
Saat memutar kunci pintu kamar, yang Tasya inginkan hanyalah naik ke ranjang dan mencoba untuk menghapus semua kejadian di taman tadi. Tapi tetap saja, tidak bisa. Ketika membuka kunci kamarnya, seseorang sudah menunggu di tempat tidurnya. Seseorang yang tak lain adalah Evy. Masih terduduk diam di ranjang. Angin tersepoy-sepoy masuk lewat jendela.
Matanya melirik pada Tasya. Tasya sekarang tak peduli dengan apapun. Bahkan ia berani untuk melemparkan ranselnya ke arah Evy. Bayangan Evy yang menghilang kini muncul lagi, duduk di  dekat jendela. Tasya tidak melihat ke arah Evy.
“Seingatku tidak ada hantu yang muncul di siang hari,”  Tidak bermaksud mengejek, Tasya kini benar-benar tidak menghiraukan Evy. Evy berdiri menghampiri Evy. Tasya sadar Evy mendekatinya. Ia langsung melontarkan pertanyaan untuk menghentikan Evy.
“Memangnya hantu tidak bisa memecahkan masalahnya sendiri?” tanya Tasya dengan nada yang sedikit lebih tinggi. Evy tak bereaksi. Di matanya terdapat mata kesedihan. Wajahnya tak terlihat ramah seperti biasa. Melihat itu, Evy pergi tanpa suara.
Tasya meringkuk dan memikirkan dua masalah yang di harus dihadapinya. pertama masalahku dengan Kevin, yang kedua adalah kasus kematian Evy, ya tuhan, aku bukan orang yang bisa memecahkan masalah dengan sekali jentikan. Kurasa pertama – tama aku harus menyelesaikan kasus Evy  dulu. Tasya hanya bisa memikirkan itu.
                                
The Murder
        Sekolah ini memiliki cerita tragis. Dan seorang murid menjadi korbannya. Evy adalah seseorang yang sangat periang dan sangat pintar. Ia memiliki keahlian dan bakat spesial, yaitu seorang cenayang dan jaman sekarang lebih dikenal dengan nama medium. Saat itu, seorang medium adalah seseorang yang sangat di puji baik oleh guru, maupun oleh murid – murid. Ia bersahabat baik dengan Ryan. Persahabatan mereka tidak pernah putus sampai akhirnya maut memisahkan mereka. Aji , Erfan dan Dian adalah anak-anak yang nakal. mereka selalu mengejek Evy karena ia seorang cenayang.
            Hari itu, malam berhujan yang lebat melarang Evy dan Ryan pergi keluar sekolah. Evy merasa ada sesuatu yang salah. Aura kematian tercium olehnya ,Evy merasa Takdir tak berteman dengannya. Sesuatu mengajak Evy melepaskan perhatiannya dari Ryan. Aji, Erfan dan Dian hanyalah anak – anak. Melihat Evy mengalihkan perhatiannya dari sahabatnya itu, mereka bertiga membawa Ryan ke atas loteng sekolah. Seolah –olah semuanya hanya sebuah permainan. Mereka menalikan tubuh Ryan ke tiang diujung bangunan dan tidak sengaja, tali yang mereka ikat putus. Dan
BRUG.....
            Ketiga sahabat itu menyadari bahwa tali Ryan putus. Seketika darah mengalir dari tubuh Ryan. Saat itu juga, mereka menyadari Ryan telah tiada. Mereka yang kepanikkan, kemudian meletakkan barang milik Evy di dekat tempat kejadian tersebut. Sejak hari itu Evy di sebut-sebut sebagai cenayang pembunuh. Meskipun ada bukti yang mengatakan Evy ada di tempat kejadian, polisi tidak dapat mengaitkan barang milik Evy dengan pembunuhan itu. Karenanya, Evy terbebas dari tuduhan tersangka utama, tapi tetap saja, warga sekolah menyalahkan kematian Ryan pada Evy.
            Lima bulan berlalu, Evy masih memegang dendamnya pada ketiga anak itu. Evy masih tak kuasa mendengar kata-kata sinis dari teman- temannya. Pada akhirnya, Evy memustuskan untuk melakukan sesuatu untuk keadilannya maupun Ryan. Evy pergi mengunjungi Aji, Erfan dan Dian. Ia menyalahkan mereka akibat pembunuhan itu. Ia juga mengancam mereka bertiga dengan memberi tahu polisi apa yang sebenarnya terjadi. Karena mereka bertiga takut akan ancaman yang diberikan pada Evy, mereka memutuskan untuk membunuh Evy dengan cara yang sama dengan Ryan. mereka juga membuang bukti-bukti yang ada.
            Setelah pembunuhan Evy terjadi, polisi hanya menganggapnya sabagai aksi bunuh diri karena penyesalan. Tapi, hanya satu barang bukti yang tidak sempat di buang dan mereka bertiga tak pernah mengetahuinya. Dan bukti itu tersimpan dengan aman berada di tangan seorang perempuan. Evy butuh bantuanmu. Tolong! TOLONG!”
            “TOLONG!” Teriak Tasya sambil terbangun dari mimpinya itu. Ia memejamkan matanya dan memegang dadanya. Keringat dingin bercucuran dari tubuhnya. Seseorang membuka pintu kamarnya dan itu adalah ibunya.
            “ Ya ampun, sayang.... ada apa?” tanya ibu Tasya menghampiri. Tasya menangis terisak-isak, “Ibu, aku tidak mau menjadi seorang medium!” kata Tasya masih dalam dekapan ibu. Ibunya mengelus rambut Tasya yang panjang.
            “Sayang, itu takdir kita,” Tasya tak kuasa menahan sedihnya. Ibunya tak bisa berbuat apa-apa. Walau Tasya kini sudah punya tanggung jawab, ia masih harus banyak belajar.
Bloody Letter
      “Ayolah! “ Keluh Tasya melihat antrian peminjaman buku di perpustakaan. Sepertinya setiap lima menit barisan hanya maju satu langkah. Tapi ini lebih baik daripada mendengarkan ceramah Mrs.Rose yang lama dan membosankan.
            “Selamat pagi Ms.W, ini bukunya,” Meletakkan buku di atas meja. Ms.W sebenarnya punya nama yang lebih panjang dan lebih aneh. Maka dari itu murid-murid lebih menyukai panggilan ms.W saja.
            “Apakah kamu sedang melakukan research Tasya?” M.s W memang aneh, dia selalu muncul di mana saja, kadang juga dia membicarakan hal-hal yang tak perlu kita ketahui.
            “Ya. Ms.W, kenapa buku Tahunan OSIS 1987 tidak ada?” Tanya Tasya.
            “kalau begitu kau bisa melakukan Reseachmu bersama dengan Rei,” Begitu Ms.W berkata, Rei sudah muncul di belakang Tasya, dia membawa lima buku di tangannya dan salah satunya ‘Buku tahunan OSIS 1987’
            “Kata Ms.W sisa buku sejarah 1987 ada di kamu? Aku boleh pinjam?” Tanyanya dengan senyum lebar tersirat di wajah. Tasya mulai merasa aneh dan curiga ketika mengetahui Rei sedang mempelajari kejadian 1987.
            “Oh iya, tidak apa-apa. Nanti kita bisa mempelajarinya bersama,” Kata-kata itu tak sengaja terlontar dari mulut Tasya. Ia memukul bibirnya karena ia merasa tidak benar. Bagaimana jika ia tahu aku seorang medium? Bagaimana kalau ia tahu aku ini sedang menyelidiki kasus Evy? Ya ampun, bodohnya aku!  Tasya kembali memukul kepala dan menggigiti bibirnya.
            “ Ayo,” Ajak Rei. Tasya yang mulai gugup tak berkata. Ia pun mengikuti Rei ke salah satu meja belajar di perpustakaan. Seperti biasa Tasya menaruh bukunya dahulu, kemudian duduk dan melepaskan tasnya yang berat.
            “Kamu sedang melakukan research sejarah tahun 1987?” Tanya Tasya dengan pelan. “Hmmm, iya. Aku penasaran, Bagaimana bisa ada seorang murid dari SMP kita ini membunuh temannya sendiri? Padahal temannya sendiri adalah sahabatnya yang terdekat,” jawab Rei yang tiba-tiba mengungkit kisah Evy dan membuat Tasya kaget. Tasya tak menduga Rei sudah tahu banyak.
            “Bukannya kasus ini sudah lama? Kenapa kamu peduli?” Tanya Tasya. “Bagaimana jika aku menanyakan hal yang sama padamu?” Jawaban Rei membuat Tasya terpojok. Tasya bahkan tidak bisa mengatakan apapun. Keadaan semakin canggung setelah Rei melontarkan pertanyaan itu.
            “Kamu tahu kalau sebenarnya Evy itu seorang medium?” Tanya Tasya lagi. “Evy seorang medium? Tentu aku tahu. Bukankah hal itu yang menyebabkan dia disukai warga sekolah. Dia juga baik dan pintar, dan menjadi seorang medium adalah hal yang membuatnya sempurna. Aku juga ingin menjadi seorang medium dan bukanlah seorang pelawak di kelas saja. Tapi jika melihat kembali struktur cerita di buku ini, sepertinya ada yang janggal,” Rei membolak balik buku yang di bacanya dan tak lain itu buku ‘SEJARAH SMP 1 Tahun 1987’.
            “Kau tahu? Kau memang benar,” Tatapan Tasya kali ini lebih serius. Sepertinya dia ingin memberi tahu jika ia juga seorang medium seperti Evy.
            “Bagaimana kau tahu?” Tanya Rei. Tasya yakin jika ia memberi tahu Rei tentang bakat yang di milikinya, pasti Rei bisa menganggapnya sebagai hal yang serius dan takkan menganggapnya sebagai bahan tertawaan seperti Kevin.
            “bagaimana jika salah satu dari teman sekelas kamu cenayang juga?” Tanya Tasya dengan pelannya. “Jangan menanyakan itu,” seketika Rei terdiam, wajahnya mengarah pada Tasya dan terus memperhatikan. Badannya terlihat kaku dan tegang. Perlahan ia membuka mulutnya dan berkata,
            “Kamu cenayang?” Rei tak mengalihkan perhatiannya yang lain. Ia menanti jawaban, jawaban yang ia nantikan sejak dulu.
            “Aku lebih suka di panggil medium,” Tasya tersenyum dan mengangguk. Tasya merogoh tas dan bukunya, beranjak dari bangku dan pergi. Rei terdiam kaget. Dia tak percaya kalau dia punya teman seorang medium. 
            “Tasya? Sejak kapan kau punya ini? Maksudku, bakatmu itu?”  Tanya Rei sambil mengikuti langkah kaki Tasya.
            “kata ibuku, kita memiliki kekuatan seperti ini sejak kecil. Hanya saja tersembunyi sampai kita berumur 12 tahun. Bahkan, baru bulan lalu aku sadar kalau aku seorang Medium,” penjelasan Tasya mulai di mengerti oleh Rei. Tiba-tiba Rei melompat ke depan Tasya. Mengambil nafas dalam lalu,
            “Boleh aku ke rumah kamu?” Tanya Rei. Tasya yang mendengar kata-kata itu kaget dan terdiam. Belum pernah ada seorang pun teman dari SMP yang ingin bertamu ke rumahnya. “Oke, tidak apa apa,” ucap Tasya. Dia senang sekali karena ada teman yang mengakui jika dirinya bukanlah hal gaib di kelas.
            “Nanti di rumahmu kita bisa berbicara tentang kau menjadi medium, kasus Evy, dan juga bagaimana rasanya melihat hantu. Pasti menyenangkan!” Teriak Rei senang. Hah? Menyenangkan? Gak juga Tasya membiarkan Rei berbicara tentang dirinya. Tak pernah ada yang membanggakan bakatnya kecuali Rei dan Ibu Tasya. Bahkan sahabat seperti Kevin juga tidak bisa diandalkan. Walaupun begitu, Tasya merasa aneh dan tidak seperti biasanya. Ia tidak berbicara dengan Kevin sejak tadi pagi.
            “Rei, ini alamatku. Nanti ke sini ya jam 2. Aku tunggu! Jangan lupa bawa berkas 1987. Oke!” Tasya memberikan potongan kertas kecil yang di genggamnya dan pergi. Rei menyimpan potongan itu ke dalam tas.
            Tasya dengan senangnya berjalan keluar sekolah. Ia menghentikan langkah kakinya saat mendengar suara dari ujung koridor. Tasya melihat tiga anak yang pernah ada di mimpinya itu memegang tangan Ryan. Ia merontah dan menggeram ke sakitan. Tiga anak itu tak peduli pada geramannya.. Tasya cepat-cepat bersembunyi di balik tirai berdebu. Ia mengikutinya sampai ke loteng atas dan melihat Ryan mencoba melepaskan ikatannya dan hal itu terjadi. Lantai yang licin membuat Ryan tak bisa mengendalikan diri. Tasya yang melihat, tak bisa berbuat apa-apa. Ketika ketiga anak itu sadar, mereka teriak dan mencoba meraihnya. Tapi terlambat sudah. Ryan jatuh menimpa pagar taman. Secara tidak sadar Tasya mengambil sesuatu yang mengalung lehernya. Yang tak lain sebuah kamera.
          CKREK.... CKREK.... CKREK....
          Tasya kembali dari penglihatannya. Ia memegang dadanya seolah- olah ia masih memakai kamera itu. Kamera?   Tanyanya di dalam hati. Tasya tertegun ketika melihat kertas merah tergeletak di dibawah kakinya. Tasya mengambil dengan tulisan merah semerah darah.
Satu dari tiga penyeimbang ialah kau, Tasya.
 



           
            Tak sengaja kertas itu terlepas dari genggamannya. Tasya mencoba mengambilnya kembali, Tapi terlambat. Kertas itu terbangat sangat jauh keluar sekolah. Aku salah satu dari penyeimbang, apa maksudnya?”
          Tasya berjalan pulang ke rumah. Ia tetap memikirkan surat berdarah itu. Angin berhembus sangat kencang. Rintikan hujan mulai berjatuhan. Debu-debu yang bertebaran kini tertutupi oleh air hujan. Tasya mempercepat langkah larinya. Ia melihat seseorang duduk di depan rumahnya. Semakin Tasya melangkah, semakin jelas wajah orang itu. Awalnya Tasya mengira bahwa itu adalah Evy sampai ia menyadari orang itu sebenarnya Rei yang sedang menunggu kedatangan Tasya.
            “Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah sudah aku katakan jam 2?” Tanya Tasya sambil membuka pagar rumahnya dan mempersilahkan masuk Rei yang setengah kebasahan.
            “Tadinya aku berniat bergitu. Tapi begitu hujan, aku langsung aja belok ke rumahmu. Untung aja jaraknya dekat,” Rei segera berlari masuk ke teras rumah Tasya. Lantainya yang licin membuat Rei hilang keseimbangan
            Toktoktok.....
            “bi Inok! Bi tolong buka pintunya!” Teriak Tasya menggedor-gedor pintu cokelat dengan tekstur bunga di sisi – sisinya.
            “Iya Neng. Wah, neng bawa temen ya? Kok temennya basah kuyup begini?” Tanya Bi Inok sambil memperhatikan wajah baru di rumah. Rei tidak mendengarkan. Ia masih melihat rumah mewah yang telah menyambutnya. Sebenarnya tidak terlalu mewah. Semua benda di dalam rumah sangat rapi. Apalagi dengan kelengkapan perapian di depan ruang tamu dengan piano klasik di ujung ruangan.
            “Rei, masuk dong! Bi, Ibu kemana?” Tanya Natasya.
            “Ibu lagi ke toko. Sebentar lagi juga pulang,” kata Bi Inok. Tasya naik ke kamarnya. Rei mengikuti dari belakang.
            NGIEK.....
            Decitan pintu berbunyi sangat jelas membuat telinga bising
            “Rumah tua,” Keluh Tasya sendiri. Kali ini Evy tidak memunculkan diri. Hati Tasya sudah tenang ketika melihat seisi ruangan kosong tanpa hal gaib seperti Evy.
            “wow, serius kamar ini punya kamu?” Rei melongo ketika melihat ruangan berwarna ungu dengan polkadot merah muda bercampur putih. Tasya melemparkan Tasnya ke lantai.
            “yap. Jadi apa yang kau temukan sejauh ini?” tanya Tasya medekati Rei. “Ini dia!” Rei mengeluarkan hampir seluruh isi tasnya. Tasya heran saat melihat Rei. Tasya melongo melihat hampir semua buku yang Rei bawa adalah buku yang berkaitan dengan Kasus Evy. Saat Rei meletakkan buku di lantai, entah mengapa Rei merasa ada seorang perempuan berdiri di depannya, kakinya tak bergerak. pucat pias seperti mayat, badannya dingin sedingin Es.Sayangnya, Tasya tidak melihat apapun kecuali Rei yang sedang terpaku pada apa yang di lihatnya.
            “Rei? Kamu gak papa?” Sela Tasya menyadarkan Rei dari apapun yang ia lihat tadi.
            “Ha? enggak kok, nggak papa. Sampai mana tadi?” Rei mengubrak-abrik tumpukan buku di depannya. Tasya melihat matanya, Rei tidak fokus dan tidak seperti biasa. Matanya hampa, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Kebingungan, ketakutan, hanya itu yang terlihat.
            “Rei?” Tasya lagi-lagi harus menyadarkan Rei. Tiba-tiba Rei berdiri dan mengambil tasnya. Tasya menarik tangan Rei dan memegangnya sekuat mungkin.
            “Rei? Kamu gak papa? Apa yang kamu lihat? Katakan!?” Tanya Tasya masih menarik tangan Rei,
            “Neng, Paket!,” teriak Bi Inok menyela pembicaraan tegang antara Tasya dan Rei, “Sebentar Bi! Rei, tunggu di sini,” Perintah Tasya. Tasya turun ke ruang tamu di mana Bi Inok dan paket sudah menunggu. Kotak besar kelabu di taruh di atas sofa. Tasya yang merasa tidak menunggu paket, penasaran apa isinya. Tanpa berpikir panjang langsung Tasya membuka segel kotak bertuliskan “Fast post”.
            “Koran?” Tanya Tasya pada diri sendiri.  Koran itu sudah berdebu, kotor dan agak berjamur disisi-sisinya. Terlihat sangat tidak terawat. Tasya melirik ke sisi atas koran. Ia berusaha mencari tanggal berapa koran itu di terbitkan. Tasya terkejut saat melihat berita di dekat tanggal terbitan.
            “Nggak mungkin! Aji, Dian sama Erfan?” Tasya menyika foto berdebu yang ada di koran. Tasya melihat gambar mobil penyok dimana-mana dengan kap terbuka. Asap hitam berkibul ke utara.
            “Kecelakaan ini memakan korban jiwa bernama Dian Saputra. Aji pratama dan juga Erfan Kurnia. Kematian masih dianggap sebagai kemisteriusan karena jenazah seluruh korban belum juga di temukan?” Tasya menghentakan kakinya ke arah tangga, berusaha mempercepat langkahnya. Mendorongkan tangannya ke tangan pintu. Rei berdiri di ujung ranjang Natasya.
            “pergi, aku harus pergi,” Rei berteriak tak jelas. kepalanya bergerak perlahan. Tatapan matanya membuat Tasya mundur dari tempat berdirinya tadi. “Aku harus pergi.” Tangannya meraba lantai mencari buku pinjaman perpustakaan seperti orang buta. Setelah membereskan segalanya, Rei menuruni tangga, dan pulang begitu saja. Benar – benar singkat.
            “pasti ada yang salah! Nggak mungkin dia seserius itu” Tasya berusaha menyusul Rei. Tapi terlambat, Rei sudah tidak terlihat. Bukan hanya karena cepat ia berjalan, tapi juga karena hujan deras.
            Malam ini bulan tidak muncul seperti biasa. Kelam menemani Tasya dalam kasus yang ia hadapi. Bagi Tasya, kehilangan teman seperti Kevin tidak bisa tergantikan begitu saja. Sekalipun Rei baru datang kedalam hidupnya. Sahabat perempuan, Tasya sangat mengharapkan itu. Seseorang yang dapat mengerti masalah yang ia hadapi, rahasia yang ia miliki, dan juga pengalaman terbaiknya.
Bulan dan Matahari
     “ Aku terbang luas di luar angkasa, aku melihat dua ciptaan tuhan yang luar biasa di sana. Bulan dan Matahari. Yang aku lihat tidaklah masuk akal. Bentuk mereka sama, seolah-olah mereka kembar. Mereka berdekatan, mendempetkanku yang sedang berada di tengahnya. Bulan dan matahari itu tampak bersahabat. Bulan dan Matahari tak melihatku. Mereka bermain di luar angkasa layaknya seorang manusia.  Seketika aku kembali ke tempat asalku, rumah. Dari atas kolam, aku melihat bayangan Matahari dan Bulan bersamaan. Dan aku sadar, mereka adalah gerhana bulan. Bulan dan matahari saling bergandengan, tersenyum padaku. Dan aku pun hanya bisa membalas,”
            Tasya terbangun seperti saat sebelum ia menjadi medium. Malam ini Tasya merasa malam ini yang ia mimpikan hanyalah mimpi yang wajar. Bulan dan Matahari hanyalah bayangannya saja. Mimpi seperti itu tidak ada artinya.
            Sesampainya di sekolah, Tasya mencari - cari Kevin. Sudah ketiga harinya Ia tidak sekolah. Tasya terus menerus menunggu di depan gerbang, berharap temannya itu sekolah. Dan hasilnya? Nihil. Walau pun Rei tidak bermasalah dengan Tasya, Rei masih jarang berkontak dengan Tasya. Tasya masih penasaran dengan apa yang dilihat Rei saat di rumahnya. Tapi Rei tetap tidak mau membuka mulutnya untuk Tasya.
            Hari ini Mrs. Farah sedang sakit berat. Dokter menvonis penyakit Mrs. Farah sebagai kategori langka. Di lihat dari fisiknya, Mrs. Farah bisa dikatakan sehat. Tapi, Mrs. Farah sering kali berkata kalau akhir – akhir ini Mrs. Farah sering mengeluh ada yang salah dengan tubuhnya.
            Karena Mrs. Farah tidak bisa mengajar, untuk sementara Mrs. Rose menggantikan posisi Mrs. Farah sebagai pengawas kelas. Mrs. Rose, guru yang paling menyebalkan. Tidak pernah tertawa, dan sering mengeluh tentang muridnya. Ia selalu menimpakan kesalahannya pada murid – murid di kelas. Mrs. Rose berkata tugas persentasi di laksanakan selama dua jam oleh enam kelompok. Tapi seminggu kemudian ia berkata dua jam untuk satu kelompok. Sehingga Murid – murid di salahkan karena kecerobohan. Padahal yang ceroboh bukannya murid, melainkan Mrs. Rose sendiri.
            “ Mrs. Rose Datang!” Teriak Tia berlari ke bangkunya dengan secepat kilat. Begitu juga dengan yang lain. Tasya yang sudah diam di tempatnya, dengan tenang mengeluarkan buku pelajaran dari kantong tasnya. Mrs. Rose membuka pintu kelas dengan tenang, wajahnya seperti sedang menjilat.
            “ Semua DIAM! Kita memiliki murid baru,” Tanpa ragu, dua anak sebaya Tasya masuk ke kelas. “Anak baru,” gumam Tasya. Yang satu perempuan dan yang lainnya laki – laki. Wajah dan tinggi mereka sama, tak bisa dibedakan. Hanya rambutnya yang berbeda.
            “Silahkan perkenalkan diri kaliam sendiri,” senyum palsu Mrs. Rose tempak jelas. Bibirnya mengkerut dan melotot ke arah murid yang lain. Melihat itu, mereka dengan cepat tersenyum pada kedua murid baru.
            “Nama saya Syaferra Franchiska, panggil saja Ferra” begitu singkat yang ia katakan. Tasya melirik pakaian Ferra mulai dari kaki sampai ujung rambut. Ia memakai pakaian warna hitam, rambutnya di kucir dua seperti boneka. Wajahnya diriasi make-up tebal, bibirnya tertutupi oleh lipstick merah mawar. Sikapnya mendukung penampilannya.. Di sakunya terdapat pin gambar tengkorak warna pink. Wajahnya dingin dan Tasya merasa jika sifat aslinya tertutupi oleh make-up tebalnya.
            Ketika Tasya melihat mata Ferra, cahaya kecil terlintas. Aura hitam bercahaya terasa masuk kedalam pikiran Tasya. Seketika Tasya tertarik pada mimpinya tadi malam,
            “Sang Bulan,” Tasya kaget melihat kembali mimpinya tadi pagi. Kata yang tadi di lontarkan, bukan semata terlontar. Tasya tidak begitu yakin sampai akhirnya sekarang ia menemukan arti mimpi itu. Refleks, Ia melemparkan matanya pada Saudara kembar Ferra. Tampangnya biasa. Tapi sama seperti saudaranya itu.
            “Nama saya Ferry Fernando, Panggil saja Ferry,” Begitu Tasya melihat ke arah matanya, Tasya merasakan Aura bercahaya menyelimuti Ferry. Kuning kemerahan menyegarkan tubuhnya. Begitu merasakan hal itu, Tasya yakin,
            “Sang Matahari,” kelopak mata Tasya berkedip. Nafasnya terengah-engah. Ternyata, Mimpi itu bukan semata hanya mimpi biasa. Pertanda apa ini?  tanyanya membatin.
            “Sya? Tasya? Ada masalah?” Tepukan halus mendarat di pundak Tasya. Rei yang dari tadi memperhatikan Tasya, menyadari bahwa ada sesuatu yang membuat Tasya seperti itu.
            “Nggak,” sementara keduanya berbicara, Ferry duduk di bangku yang masih tersisa. Sedangkan Ferra pergi ke kelasnya sendiri. Nyatanya, Ferra adalah murid baru milik 7- E. Semua murid di kelas membicarakan Ferra dan Ferry.
            “Kenapa mereka di beda-in?”
            “Bukannya pake make-up sama dikucir itu dilarang?”
            “memangnya mereka siapa? Mentang – mentang orang kaya!”
            “Dasar kembar!”
            Hanya itu yang di dengarkan Tasya sejak Istrirahat. Tasya tidak bisa membicarakan mimpinya di kelas karena teman sekelasnya yang masih membicarakan sang kembar itu. Tidak hanya kelas saja, bahkan satu sekolahan membicarakan mereka. Akhirnya Tasya dan Rei mengungsi ke tempat yang paling aman, Perpustakaan sekolah. Perpustakaan sedang sepi, tak ada siapapun kecuali Ms.W.
            “Jadi, jelaskan, apa yang kamu lihat?” Tanya Rei berbisik.
            “Yang aku lihat? huft.... aku nggak begitu yakin,” Pikiran Tasya masih melayang. “ Oke, dalam seminggu ini aku memimpikan hal yang sama, berulang –ulang kali,” Kata Tasya.
            “Mimpi? Kenapa kamu nggak cerita?” tanya Rei.
            “Itu masalahnya! Aku nggak tahu kalau mimpi itu ada artinya. Menurutmu Bulan dan matahari itu apa coba? Aku aja nggak tahu!” Elak Tasya.
            “Memangnya ada apa dengan mimpi Bulan dan Matahari?” Rei berusaha melanjutkan cerita Tasya.
            “yang aku ingat cuma, ‘Aku terbang luas di luar angkasa, aku melihat dua ciptaan tuhan yang luar biasa di sana. Bulan dan Matahari’ setelah itu aku lupa, tapi ada juga yang seperti ini ‘Dari atas kolam, aku melihat bayangan Matahari dan Bulan bersamaan. Dan aku sadar, mereka adalah gerhana bulan. Bulan dan matahari saling bergandengan, tersenyum padaku. Dan aku pun hanya bisa membalas’ “ Jelas Tasya menceritakkan mimpinya itu.
            “Jadi, aku bingung. Apa hubungannya Bulan dan matahari dengan yang kamu lihat tadi?” Tanya Rei yang masih di penuhi pertanyaan.
            “Saat aku lihat Ferra, anak baru itu, aku merasakan perasaan aura hitam seperti bulan melewatinya. Seketika saja aku tahu kalau Ferra adalah bulan dalam mimpiku. Sedangkan Ferry, setelah aku melihat Ferra dengan aura seperti itu, aku refleks ngeliat Ferry, dan ternyata benar kalau Ferry adalah Mataharinya, menurutmu Apa itu Artinya Bulan dan matahari?” Jawaban dan pertanyaan Tasya membuat Rei terkesiap.
            “Menurutku? Gimana ya? Kalau kamu bertanya tentang ciptaan tuhan, yang aku katakan adalah keseimbangan. Bulan dan Matahari adalah penyeimbang alam. Seperti Yin and Yang. Tanpa bulan malam menjadi gelap gulita, dan tanpa matahari dunia akan menjadi gelap, sama seperti tanpa kehadiran bulan di malam hari. Jadi jawaban ku adalah Penyeimbang,” Dengan bangganya Rei tersenyum. Keramahan Tasya membuatnya tersenyum. Senyum itu lenyap ketika Tasya sadar akan sesuatu.
            “Penyeimbang? kenapa aku nggak sadar?” Tanyanya pada diri sendiri. Rasa ingin tahunya pun terjawab. “Di hari sebelum kamu datang ke rumahku, Sepucuk surat datang begitu saja. Surat itu berkata bahwa aku adalah salah satu dari tiga penyeimbang, Evy memintaku untuk menangkap pembunuh Ryan dan juga pembunuh Evy, mungkin Ferra dan Ferry adalah dua penyeimbang lainnya!” Rei tidak bereaksi sampai Ms.W datang ke meja mereka berdua. Ms.W Menyodorkan Sebuah amplop ke arah Tasya.
            “tadi ada murid yang memintaku menyampaikan surat ini pada kalian,” begitu Tasya menerima amplop itu Ms. W pergi begitu saja.
            “apa isinya?” tanya Rei mencoba melihat isi amplop ke segala sisi. Tasya merobek sisi kiri amplop itu dan membuka isinya.
            “Ini silsilah keluarga,” tangannya masih memegang sisi atas surat.
            “silsilah keluarga? Tasya, coba lihat ini!” Rei memberikan bekas amplop yang tadi Tasya robek. Matanya terbelalak. Pelan pelan Tasya menaruh surat silsilah ke atas meja. Ia mengira Evy telah meninggalkannya sendiri.
            “Evy hermawati?” gumam Tasya. Ia merasa Evy masih memberikannya tugas. Rei mengambil surat berisi silsilah keluarga yang baru saja di taruh Tasya.
            “Tasya, lihat ini! Ini kan....,” sebelum Rei melanjutkan perkataannya, Tasya sudah terlebih dahulu tahu. “ Evy,” .
            “Bukan yang itu, lihat paling bawah, ini kan Ferra sama Ferry” Tangan tasya merasa ringan melihat nama mereka tercantum dalam silsilah tersebut.  Wajah Rei sama seperti Tasya. Tasya tak bisa berkata apa – apa. Semua terjawab. Evy ialah yang mengirim mimpi itu. Mimpi tentang Bulan dan Matahari. Yang melambangkan Ferra dan Ferry. Ternyata, selama ini ia sangat dekat dengan keturunan Evy.
Together again
        Hari ini Kevin masuk sekolah. Sekujur tubuhnya di penuhi bentol – bentol bekas cacar. Ia bingung dengan keadaan di sekolah. Belum lagi dengan masuknya dua kembar itu di sekolah. Kevin juga tak mengira Tasya duduk dengan Rei. Wajah Kevin terlihat marah padam mengira Rei mengganti posisinya sebagai sobat Tasya. Kevin belum tahu tentang Evy, apalagi tentang ‘Bulan dan Matahari’ yang di mimpikan Tasya. Hanya Rei yang menyimpan kekal rahasia Tasya.
            Tasya yang baru saja kembali dari perpustakaan, di hadang oleh Kevin. Kali ini Kevin serius. Ia masih marah dengan apa yang di lihatnya.
            “Giliran aku pergi, kamu nge-gantiin aku sama Rei?” Tasya bengong tak mengerti maksud Kevin. Tasya merasa Rei hanyalah teman dalam misteri kematian Evy.
            “ Aku nggak mau kita jadi musuh. Rei, dia yang percaya kalau aku nggak bercanda tentang aku seorang medium. Awalnya aku salah ngira Rei cuma main sama anak populer kayak Nadine sama Diva. Tapi, justru Rei yang ngebantuin aku. Dia nyemangatin aku jadi medium. Kalau tidak ada apa – apa lagi, aku pergi,” Kata Tasya. Kevin sadar, sikapnya dulu memang keterlaluan. Tidak akan ada seorang sahabat sejati yang akan mencela sahabatnya, Apalagi menertawakannya. Dengan cepat, Kevin menyambar tangan Tasya, menggenggamnya seerat mungkin. Air mata Kevin mulai menggenang. Ia berusaha menahannya agar tidak jatuh. Matanya mulai terlihat merah. Seribu kebingungan terpendam jauh di dalam benaknya.
            “maaf sya,” isak Kevin masih menahan tangisnya. Kini Kevin tak bisa menahan air matanya. Seketika tetesan air mata membasahi pipinya. Tasya berbalik melihat sahabat penanya menyesali sesuatu yang dianggapnya salah.
            Tasya tak berkata, hanya tersenyum. Senyumannya di susul oleh air mata. Air mata pemaafan yang hangat. Tetesan air mata yang tak akan pernah terhapus dari memori.
            “Tasya! Tasya! Darurat!” Teriak Rei setengah terengah – engah dari ujung koridor. Rei tersentak diam melihat Kevin dan Tasya sedang bergandengan. Kevin reflesks langsung melepaskan genggamannya.
            “Ada apa Rei?” Tanya Tasya.
            “Ferra kerasukan! Ayo!” Teriak Rei Terburu – buru.  Tasya  mengikuti lari Rei, begitu juga Kevin. Mereka menghampiri kerumunan di kantor guru. Hampir seluruh murid menyaksikan kejadian itu. Ferra mengobrak – abrik lemari sepasang guru. ia seperti sedang mencari sesuatu.
            “Tasya! Coba kamu tenangin Ferra,”perintah Rei. Tasya langsung berlari menerobos kerumunan murid. Begitu sampai di depan kerumunan, Tasya mendengar seseorang membisikkan kata- kata padanya,
TUNJUKKAN KUNCINYA! CEPAT!
          Tanpa berfikir panjang, Tasya cepat – cepat mengeluarkan yang menggantung di lehernya dan memperlihatkannya pada Ferra. Mata Ferra terfokus pada kalung kunci itu. Ferra yang tadinya mengobrak abrik meja, sekarang terjatuh pingsan. Beberapa guru menggendong Ferra keluar dari kantor menuju UKS.
Beberapa menit kemudian....
            “Arrrgghhhh, dimana aku?” Ferra memejamkan dan membuka mata. Ferry yang memegang segelas air di tangannya, menegukkan air itu ke mulut Ferra. Sementara itu, Tasya, Rei dan Kevin masih berdiri di ujung ranjang UKS. Ferra kebingungan. Ia tak mengingat kejadian di kantor tadi.
            “Ferra, Ini Tasya, Rei dan Kevin. Tasyalah yang menyadarkan kamu,” Tasya tersenyum pada Ferra. Ferra tidak mengerti apa yang dibicarakan saudara kembarnya. Begitu melihat Tasya, wajah Ferra jadi dingin. Tatapannya tajam membuat Tasya tidak nyaman. Ferra melihat aura cahaya di sekitar Tasya.
            “Tasya? Sang Bintang?” Rei melongo mendengar perkataan Ferra. Kevin yang belum mengerti apa-apa hanya menggerakkan bola matanya pada Tasya.
            “apa maksudmu? Bintang?” Tasya masih tidak mengerti apa yang di bicarakan.
            “Ferra, kamu yakin dia bintangnya?” Tanya Ferry serius.
            “aku nggak salah. Akhirnya! Kamu tahu kita kan? Bulan dan Matahari!” Rei memperhatikan Tasya, Ferry dan Ferra. Kevin tiba – tiba memukul tembok di sampingnya.
            “kalian bicara apa sih? Aku nggak ngerti,” bibir Kevin memanyun.
            “shhhuutt.... tegang nih,” bisik Rei langsung mengerti pembicaraan apa yang sedang menjadi topik. Rei mendorong punggung Kevin sampai keluar UKS. Hanya tersisa Tasya dan si kembar itu di UKS.
            Semua hening, tanpa suara. Mereka membuat lingkaran  memperhatikan satu sama lain. Tiba – tiba seseorang datang dari ujung. Mukanya gelap kelam. Orang itu bukanlah manusia.
            “Evy?” seru mereka bertiga. Evy tersenyum senang bercampur sedih. Wajahnya putih pucat. Semua terdiam. Waktu berhenti seakan mempersilahkan.
            “Bulan, Bintang dan Matahari. Kalian sudah bertemu. Tolong bantu aku! hanya kalian yang bisa,” Evy mengambil tiga langkah mundur, dan menghilang. Waktu kembali berputar, menyuruh mereka mengikuti permainannya.
            “Oke, jadi aku kerasukan hanya untuk menyatukan kita?” keluh Ferra, “ Yang benar saja!” Ferra menyembunyikan kepalanya di bawah selimut. “walaupun begitu, selama kita masih di beri tugas kita harus nyelidikin kasus ini.” gumaman Ferra terdengar Tasya. Tasya langsung tahu dua kembar itu memiliki kekuatan yang sama dengannya. Ferra menyingkirkan selimut yang menutupi wajahnya.
            “Tasya, mulai besok aku ingin kamu nyari berita tentang yang terjadi sebelum dan sesudah pembunuhan Ryan dan Evy. Ferry, kamu lacak Aji, Erfan dan juga Dian. Dan aku, aku akan melakukan Investigasi tentang kalung itu,” Ferra memicingkan matanya melihat kalung di leher Tasya. Tasya cepat – cepat mengeluarkan Kunci yang menggantung di lehernya itu dan memberikannya pada Ferra.
            “Kalian sudah tahu tentang Kunci, dan juga tiga anak yang membunuh Evy? Dari mana?” Tanya Tasya masih heran akan suruhan Ferra.
            “Ferry yang memimpikan tentang pembunuhan dan kuncinya, sedangkan aku berbicara dengan Evy. Ferry tidak bisa merasakan Aura seperti aku atau pun melihatnya. Dia hanya bisa mendengar suara hantu dan bermimpi,” Jelas Ferra.
            “sebelumnya, Rei dan aku sudah melakukan Investigasi. Tapi aku enggak bawa berkasnya. Besok aku  bawa,” Tasya merasa berguna di depan mata Ferra dan Ferry. Tasya juga senang karena menemukan teman seperti Ferra. Walaupun penampilannya aneh, sifatnya menggemaskan. Tapi penampilannya, benar-benar jauh tidak seperti Tasya.
            Sementara Tasya, Ferra dan Ferry saling mengenal, Rei menceritakan Kevin tentang kekuatan Tasya, pembunuhan Evy, dan juga mimpi-mimpi.
            “Sekarang aku bingung, Jadi Tasya di mintai tolong oleh hantu korban pembunuhan? lalu misteri mulai masuk ke dalam kehidupan Tasya termasuk kamu? Terus Tasya dapet mimpi aneh ini, apa katamu? Oh ya, Bulan dan Matahari. Ternyata Bulan sama Matahari ini adalah Ferra dan Ferry, dan menurutmu si kembar bermimpi tentang Tasya menjadi Bintang. Dan kembar itu keturunan Evy. Begitu? Rumit banget,” nada Kevin sedikit meremehkan cerita Rei. Ia belum percaya tentang hal gaib ini.
            “hah, pantesan aja Tasya marah, kamunya aja gini! Jangan sampai kamu nyebarin rahasia kalau trio wek-wek yang ada di dalam UKS itu semua cenayang, eh maksud aku medium. Inget, kalau aku ngedenger anak-anak di sekolah ngomongin mereka bertiga, artinya kamu yang salah,” Rei berjalan menuju kelas di ikuti Kevin. Kevin merasa semakin dekat dengan Rei. Ia sangat ingin bersahabat dengan laki - laki pelawak itu.
Kepergiannya
        Sudah hampir 1 bulan Mrs. Farah tidak mengajar di kelas. Murid – murid di kelas kurang bersemangat karena guru terfavorit sudah lama tidak bercanda ria dengan mereka. Padahal biasanya Mrs. Farah sering bermain saat pelajaran dan juga memberi kejutan sepulang sekolah.  Terlihat jelas rasanya tampak sepi tanpa kehadiran Mrs. Farah.
            Mrs. Rose kali ini sudah kelewatan. Murid – murid dibuat gila olehnya. Apalagi Rei, Mrs.Rose selalu memperhatikan Rei jika ia bercanda. Seperti yang dikatakan, Mrs. Rose tidak suka yang namanya TERTAWA.Keriput di wajahnya membuat kelas semakin ganas.
            Sepulang sekolah, kelas 7-I berkumpul di kelas. Rapat dadakan mulai memanaskan suasana. Tia, Ketua murid kelas, terus mendapat keluhan dari teman – temannya. Dan masalahnya, hanyalah MRS.ROSE
            “Tia, gimana nih? Masa kita harus gini terus? Ih, kangen Mrs.Farah!” keluh Winni menghentakkan kakinya. “Mendingan pindah kelas aja dari pada dapet caci – makinya Mrs.Rose”
            “mawar memang berduri. Kita tunggu beberapa hari lagi, siapa tau Mrs. Farah bakal masuk,” Tia tak sanggup mendengar keluhan teman – temannya setiap hari.
            “ahk! Aku kagak tahan! Masa ketawa pas pelajaran aja enggak boleh? Enggak adil tau,” bibir Putri memanyun mengingat kepedihannya akhir-akhir ini.
            “gimana kalau kita jenguk Mrs. Farah? siapa tau aja dia udah sembuh,” hibur Imel.
            “Sembuh dari hongkong? Mel, Mrs. Farah itu ngidap penyakit langka! Emang bisa sembuh dalam sekejap?” Tia mulai kesal dengan teman – temannya. “tapi, ide ngejenguknya bagus sih. Toh kita bisa lihat keadaan Mrs.Farah. Mungkin kalau kita datang Mrs.Farah gimana ya? Hmm... membaik. Itu juga MUNGKIN?” Tia kurang percaya diri.
            “ okelah kalau begitu, tapi jenguknya mau kapan? Besok?” Tanya Rei yang baru datang mendengar percakapan.
            “Jangan besok, mending sekarang aja. Mumpung semuanya sekolah,”  kata Tia sambil menghitung jumlah murid.
            “Lo, kok si Ayu gak ada? Kemana dia?” Tanya tia yang baru menyadari salah seorang murid di kelas tak ada.
            “Baru nyadar? Kan Ayu izin mau ke Bali, lupa ya?” goda Winni.
            “oke, enggak papalah Ayu enggak ikut juga, yang penting semuanya nggak ada acara-kan?” Tanya Tia tegas.
            “YA!” semangat kelas mulai berkobar. Akhirnya, mereka memiliki kesempatan bertemu guru kesayangan mereka.
            “Sekretaris siapa? oh, Ayu ya? Yu! kamu nge-data! Lah, si Ayu kemana? Oh iya, ke Bali ya? Lali aku! Kalau gitu Tasya, kamu ngedata ya! Terus mintain ongkos buat naik angkotnya,” perintah Tia membuat Tasya bangkit dari duduk sepinya.
             “ya? Oh iya, nanti aku data. Tapi bagian minta ongkosnya sama  Imel aja, kan dia bendahara,” Wajah Tasya memelas, mengaggetkan Imel yang sedang meminum jus apel.
            “aku? Aku bendahara ya? Hehehe lupa,” Imel menggaruk garuk kepala yang tidak gatal. “tumben kamu ngomong sya, biasanya diem melulu,” goda Imel. Tasya yang mendengar itu hanya tertawa kecil.
            Singkat Cerita.......
            “awas, turunnya hati – hati ya!” Seru Tia sambil mendata murid – murid yang baru turun dari angkutan umum.
            “huah...akhirnya sampai juga! Benerkan ini rumah sakitnya?” Tanya Putri masih ragu – ragu. Rei merogoh kantong tasnya dan mengambil sepucuk surat.
            “LAGUNA hospital, bener ini. Kalau enggak percaya, baca aja surat ini,” Rei memberikan surat yang diberikan Mrs.Farah beberapa minggu yang lalu.
            “semua udah ada 31 orangkan? Kalau gitu ayo jalan!” perintah Tia mengagetkan seluruh murid. Tia memimpin perjalanan mereka. Beberapa murid cepat-cepat memakai masker muka sebelum mereka menginjakkan kaki di Laguna hospital.
            Kevin dan Ferry tahu benar kalau mereka belum mengenal Mrs.Farah dengan baik. Apalagi Ferry, dia benar – benar belum pernah melihat keramahan Mrs.Farah. Sedangkan saudari kembarnya, Ferra yang bukan berasal dari kelas 7-E tidak ikut acara menjenguk Mrs.Farah ini. Sementara yang lain memfokuskan diri pada Mrs. Farah, Kevin dan Ferry diam – diam mengobrol di belakang.
            “Menurut kamu Mrs. Farah itu gimana orangnya?” Tanya Ferry.
            “Kalau nanya jangan ke aku. Aku juga baru kenal Mrs. farah belum sampai 1 bulan. Tapi kalu dilihat-lihat dari sebelumnya, Mrs.Farah baik, suka bercanda, pokoknya beda 99,99999% dari Mrs.Rose,” Ferry yang mendengarkan pendapat Kevin hanya bisa mengagguk dan tak berkata.
            “Ini dia kamar 174. Winni, tolong ketuk pintunya,” pinta Tia.            “loh? Kok aku sih? Tuh, si Putri aja!”
            “Kok jadi aku? Ah, gak mau ah, ogah. Imel aja,”
            “Malu ah, takut salah ngomong! Kenapa enggak Tasya aja?” Tasya kaget mendengar namanya disebutkan. Kini, ia seperti orang linglung.
            “Aku? Aku apa?” Tanya Tasya masih bertanya – tanya. Sebelum ada yang menjawab pertanyaan Tasya, seseorang membuka pintu kamar. Seorang wanita mengenakan daster panjang bercorak merak melihat mereka dengan heran. Tia yang berada di sebelah Tasya menyenggol pinggangnya, menyuruh Tasya untuk berbicara.
            “mencari siapa ya de?” Tanya wanita itu sambil menggeser pintu.
            “ah, sebelumnya maaf bu, Apakah benar ini ruang rawatnya Farah Tamara?” Tanya Tasya dengan sopan.
            “Benar, siapa ya De?”  Tanya wanita itu.
            “ ini, kami dari SMP 1. Begini bu, kami adalah murid – murid dari kelas Mrs. Farah. Kami datang ke sini ingin menjenguk Mrs. Farah. Jika diizinkan, kami ingin sekali melihatnya,” Jelas Tasya. Semua murid memperhatikan Tasya saking terkejutnya. Mereka yang dari dulu menganggap Tasya pendiam, ternyata dia sangat pandai menggunakan bahasa.
            “Jadi kalian adalah murid – murid dari kakak saya? Kalau begitu boleh saja, tapi bisa tidak kalian dibagi lima orang ?” begitu wanita tadi berkata, yang lain langsung berjajar ke belakang. Ibu tadi tersenyum melihat murid – murid itu sangat turut.
            “Ayo masuk!” Ajak Ibu. Yang pertama masuk, tentu saja Tasya karena dia sudah ada di paling depan. Bersama Tia, Winni, Putri dan Imel, Tasya memasuki ruang rawat. Ranjang Mrs. Farah tertutupi dengan tirai putih.
            Di ranjang, Mrs. Farah terlihat kesakitan. Warna kulitnya pucat, bibirnya kering, matanya tak kuasa untuk melihat, badannya lemas terkulai. Tia, Winni, putri, Imel beserta Tasya kaget melihat Mrs. Farah seperti itu. Tidak seperti biasanya Mrs. Farah terlihat pucat.
            “khuk...khuekk,... siapa itu?”Mrs. Farah terbatuk – batuk. Suaranya tak jelas. Tak seperti dulu yang sering tertawa.
            “Ini murid dari kelas kamu. Katanya mereka mau melihat keadaan mu,” Kata wanita yang tadi menyambut mereka. Mrs. Farah mengambil kaca mata dari meja.
            “Khuk.. khukk,,,, Tia?” Tanya Mrs. Farah. Mendengar itu, Tia tersenyum. Tia mendekap tangan Mrs. Farah.
            “Mrs, kapan Mrs mau ke kelas lagi? Kami kangen ingin ngedenger suara Mrs.” Mrs. Farah tersenyum damai mendengar Tia. Tia yang melihat Mrs. Farah terlihat kesakitan mulai menitikkan air mata.
            “Insyaallah, pasti Mrs. akan mengajar di kelas lagi. Mrs. Dengar di kelas ada murid baru lagi ya? Siapa? Apakah dia ikut ke sini?” Tanya Mrs. Farah pelan.
            “Iya Mrs. Namanya Ferry Fernando. Biar saya panggil.” ucap Putri yang dekat dengan pintu. Ferry yang tadinya diam sendiri, terkaget di panggil oleh putri.
            “Fer, sini!” teriak Putri.
            “Aku? Ngapain?”
            “apa susahnya ke sini? Cepet deh,” Putri mulai kesal dengan kelambatan Ferry. Putri membuka jalan untuk Ferry. Mrs. Farah untuk pertama kalinya melihat wajah baru yang masih segar. Ferry yang awalnya jalan dengan gugup, begitu melihat Mrs.Farah ia langsung tersenyum. Mrs.Farah membalas senyuman hangat dari Ferry.
            “Jadi ini murid barunya? Selamat datang ya nak, khuukk... khukkk” Sambut Mrs. Farah walau harus terbatuk. Seterusnya mereka bercerita tentang suasana kelas tanpa Mrs. Farah. Begitu juga dengan perlakuan Mrs. Rose selama ini. Setelah giliran mereka berakhir, murid yang lain menggantikan mereka.
            Tasya tidak terfokus ke dalam percakapan. Di dalam kamar ia merasa sesuatu yang tak asing. Sesuatu yang berbahaya dan membuat manusia kesakitan. Tasya terus berusaha mengingat kapan ia pernah merasakan hal itu, hawa kematian? Ah, ini kan rumah sakit. Pasti banyak yang meninggal, Tasya yang selalu positif thinking tak terlalu berpikir panjang lebar.
            “aduh, udah sore nih !Aku pulang duluan ya? Enggak apa- apakan?” Tanya Winni.
            “Pulang bareng yuk! Kamu naik angkot 04 kan?” Ajak Tia.
            “Tasya,Put? mau pulang enggak? Kamu naik 04 bukan?” Tanya Winni mengingat Putri bertetangga dengannya.
            “Oh, iya. Put? Kamu mau bareng?” Tanya Tasya.
            “yah, aku di jemput sama si papih. Ha? Itu papih. Aku pulang dulu ya! Bye...” Putri berlari keluar pintu. Tanganya melambai lurus ke belakang.
            Winni dan Tia memperhatikan dan memikirkan kata – kata Tasya tadi. Aneh jika mendengar Tasya mengajak seseorang untuk pulang dengannya. Tak biasa bagi mereka.
            Keesokan harinya, seperti biasa Tasya berangkat ke sekolah. Tak terpikir di dalam benaknya hal yang buruk.
            Tasya terus melangkah melewati lorong gelap di sekolah. Tak ada murid disana. Ia berjalan menuju kelasnya. Berharap akan sesuatu yang baik akan terjadi hari ini. Namun, tak seperti yang di bayangkan.
            Seluruh murid menitikkan air matanya. Melihat itu, Tasya kebingungan. Ia duduk seperti biasa di bangkunya dan masih linglung dengan seluruh murid dikelas.
            “Put, ada apa? Kok kayak gini suasananya?” Tanya tasya pelan.
            “Huh... ka..kamu... enggak tau?” Isak Putri mengusap air matanya. Matanya terlihat lemas dan merah. Tasya menggeleng, tak tahu harus menjawab apa.
            “Mrs. Fa... Farah, dia kemarin me...meninggal,me..meningga..gal” Isak Putri.
            “Ba, bagaimana mungkin???” Tasya masih tak percaya dengan perkataan temannya. Akhirnya Tasya sadar. Saat di rumah sakit, Aura kematian itu dimiliki Mrs.Farah. Enggak, enggak mungki...., Buku – buku yang ada di tangannya berjatuhan. Tasya tak tahu harus berbuat apa. Tangannya gemetar menahan Tangisan. Badannya jatuh lemas. Air matanya menyusul teman - teman yang lain. Selama ini Tasya merasa kurang perhatian pada Mrs. Farah. Sehingga penyesalannya selalu terbawa sampai sekarang. Kevin dan Ferry bahkan belum sempat mengenal Mrs.Farah dengan baik. Setidaknya Mrs. Farah sudah mengenal Ferry sebelum berpulang.
            Bis – bis di depan sekolah yang menjemput membuat bising telinga. Tetapi murid – murid tidak peduli akan hal itu. Hari ini sekolah di liburkan karena masih berkabung atas kepergian Mrs.Farah. sedangkan staff dan guru – guru di sekolah akan pergi ke pemakaman Mrs. Farah. Mereka tak mengizinkan seluruh murid yang lain ikut ke pemakaman, terkecuali 7 –I dan perwakilan murid dari tiap kelas. Kini, Tia dan murid yang lain tak bisa menahan sedih. Perasaan mereka bercampur aduk dengan kepedihan. Bagi mereka, kesan – kesan bersama Mrs. Farah takkan pernah terlupakan selamanya.


49th
        Setelah berminggu – minggu mencari jawaban misteri dalam kalung kunci itu, Ferra akhirnya menyerah karena kehabisan petunjuk. Sudah seberapa keras ia mencoba, ia tetap tak bisa melihat kedalam kunci itu. Begitu juga dengan yang lain. Ferry yang ngebelain dirinya meretas program keamanan sekolah, tetap tak bisa melacak ketiga anak tersebut. Apalagi Tasya, semuanya berakhir pada koran yang di paketkan itu. Sampai disana, ia tak menemukan apa – apa lagi.
            “Apa yang kalian temukan?” Tanya Ferra lesu.
            “Nihil,” Kecewa Ferry sambil memukul laptopnya.
            “Enggak ada apa-apa!”  Rei melempar buku sejarah 1987 ke meja.
            “Rei, kamu liat si kevin sama Tasya enggak? Udah di telepon, di SMS, masih aja enggak nge-jawab. Kemana ya tuh 2-an?” Ferra memencet layar touch screen Iphonenya. Kakinya berhentakkan tak jelas. Sementara itu di ruang OSIS, Tasya dan Kevin sedang menunggu kak Dea.
            “Eh, Kamu yang waktu itu duduk di taman kan? Ngapain kalian kesini? Kalian mau daftar?” Kak Dea yang baru saja keluar dari ruang Private pengurus OSIS menyadari kehadiran Tasya dan Kevin. Tasya menjentikkan kukunya mendengar Kak Dea menanyai soal pendaftaran.
            “Ah, bukan begitu kak. Sebelumnya maaf sekali. Kami tak bermaksud untuk menolak. Tapi.....” Kevin tak bisa melanjutkan kata- katanya. Ia takut Kak Dea marah.
            “Ah, aku tahu. Pasti kalian sibuk ya? Jadi enggak akan daftar. Begitu? Yah, tak apa – apa. Yang penting utamakan pelajaran dulu benar?” Melihat Kak Dea memaklumi kesibukkan mereka, Tasya dan kevin menjadi lega. “Kakak harus pergi ke dalam lagi. Permisi ya! Hah? Kemana kuncinya?” Tangan Kak Dea menepuk-nepuk saku rok. Ia sadar akan kehilangan sesuatu yang tadinya berada saku. Sesuatu yang sangat penting.
            “Aduh, kalian bisa tolong cari-in kunci kakak? Kayaknya ada di sini.” Badan Kak Dea membungkuk melihat ke bawah. Baru saja Tasya mengalihkan tatapannya ke bawah, ia sudah menemukan kunci milik Kak Dea yang terjatuh.
            “Kak, apa ini kuncinya?” Kak Dea mendongakkan kepalanya diam sebentar kemudian berdiri. Kak Dea tersenyum pada Tasya.
            “Thank’s ya!” Tasya memberikan Kunci tadi pada Kak Dea. Baginya, kunci itu tidaklah asing. Tasya berusaha mengingat di mana ia melihatnya, Kunci dengan kaca biru di tengahnya. Kayaknya kenal, Tasya terdiam di tempat ketika mengingat kunci yang di berikan Evy padanya.
            “Kuncinya, mirip sekali. Kak, kalau boleh tahu itu kunci apa ya?” tanya Tasya polos.
            “oh, kunci ini? Ini itu kunci akses masuk ke loker milik OSIS yang terdiri dari 48 loker. Itulah enaknya OSIS, punya loker sendiri, ” Godaan Kak Dea tak dihiraukan Tasya. Tasya tersenyum pada Kak Dea dan Kak Dea pun pergi. Tasya menarik tangan Kevin, berlari ke arah Kantin di mana teman – teman yang lainnya sedang berkumpul.
            “ihh, kemana aja sih kalian? Di cari – cari enggak ada!” Keluh Ferra. Tasya menyodorkan tangannya.
            “mana kuncinya?” tanya Tasya masih terengah – engah.
            “kunci punya Evy? Ini. Emang ada apa?”
            “Kevin, coba lihat! Ini mirip kayak kunci milik kak dea. Bukannya Evy dulu pernah jadi Pengurus OSIS?” Ferra, Ferry dan Rei tak tahu apa yang di katakan Tasya.
            “Kunci Kak Dea? Kak Dea itu siapa? Hantu juga?” tanya Ferra.
            “masa enggak tahu Kak Dea? Kak Dea itu anggota OSIS,” jawab Rei.
            “nah, Kunci itu tuh sebenernya kunci loker cuma buat OSIS doang....” Kevin ikut – ikutan. Kevin bingung melihat kuncinya. Menurutnya ada yang ganjil.
            “Sya, kok aneh ya? Tadi-kan Kak Dea bilangnya cuma 48 loker. Lah, kalo yang ini nomor 49 kan? Kalau gitu loker 49 ada di mana?” Kevin yang melihat 49 di belakan kaca biru mulai sadar.
            “hanya satu tempat untuk menyimpan barang tidak berguna. GUDANG!” lagak Rei sangat berlebihan. “ Kunci gudang kan sama pak Rahmat, Tapi...”
            “pak Rahmat itu siapa ?” Sela Kevin
            “Aduh! Kev, Pak Rahmat itu yang biasa ngejaga kunci seluruh ruangan sekolah,” Rei menganggap Kevin sebagai anak baru di sekolah.
            “kalau soal kunci, gampang. Kita pinjem aja!” Kata Kevin bangga. Tapi justru malah membuat Keempat anak itu bengong.
            “Vin! Cuma Pak Rahmat yang boleh ngebuka gudang. Dan jangan lupa C-U-M-A” Eja Rei.
            “selama ada aku kalian enggak usah Khawatir. Ini dia, alat mata - mata!” Ferry mengacungkan sebuah pisau dengan pegangan yang tebal. Ujungnya tertutupi kain yang membelit.
            “Pisau? Emang mau masak?” goda Rei. Ferry tersenyum mistis.
            “Ini bukan pisau biasa. Pisau ini bisa bisa berubah jadi alat alat yang kamu inginkan. Jadi kunci juga bisa. Lihat ini,” Ferry menekan – nekan tombol merah. Dia berhenti setelah melihat tungkai alumunium kosong. Ferry merogoh sesuatu dari tasnya. Sebuah remote kecil berwana hitam dengan tombol kecil. Seketika tungkai itu berubah jadi kunci. Bentuk dan tekstur kuncinya pun ikut berubah – ubah.
            “kamu beli di mana Fer? Jepang?” Tanya Tasya.
            “mirip bikinan jepang ya? Awalnya Cuma pisau doang. Terus aku modifikasi. Jadi deh magic Knife. Aku Jenius kan?”Puji dirinya sendiri.
            “Nanti sore jam 6 pak Rahmat udah pulang. Kita ke sininya pas jam 5. Sebelum Pak Rahmat pulang, kita udah harus masuk ke Gudang. Baru kita ambil apapun itu yang ada di loker 49. Kita harus cepat sebelum pak Rahmat ngunci gerbang. Celaka kita kalau gerbangnya terkunci pas kita lagi di dalem. Bisa-bisa kita harus nginep di sekolah. Bener gak?” Jelas Ferra.
            “tumben otak kamu encer Ra” Lagi – lagi Rei membuat Ferra jengkel.
Singkat Cerita....
            “Duh, kemana nih si kembar? Sekarang jam berapa Kev?” Tasya mulai gugup dengan rencana ini. Menyelinap tanpa sepengetahuan guru? Rasanya sulit.
            “Masih jam 5 lebih 10. Tenang, mana mungkin mereka enggak jadi?” Jawab Kevin menenangkan Tasya yang terlihat tagang.
            Suara kaki terdengar dari belakang. Tangan lembut mendarat di pundak Tasya yang masih ketegangan.
            “Duar.... kangen ya?” kejut Ferra dan Ferry yang baru datang.
            “Kok lama sih? Cepet! Keburu pak Rahmat pulang,” Rei semakin membuat kerisauan dalam ketegangan.
            “Ayo jalan,” Ferra mulai kesal dengan Rei yang selalu meremehkannya.
            Kelima sahabat itu mulai berpetualang. Mereka membelakan diri sendiri hanya untuk Evy yang masih terjebak dalam bayangan masa lalu. Kegelisahan dan ketegangan selalu menempel akhir – akhir ini. Tasya tak merasa rugi karena semua ini. Karena Kevin, Masa lalunya yang terkubur kini mulai membuka. Rei yang tadinya tak berteman selain anak populer, sekarang malah menjadi seorang teman dalam kasus ini. Apalagi Ferra dan Ferry yang memiliki sesuatu yang mistis dalam diri mereka. Tapi berkat semua ini, mimpi dan keinginan Tasya untuk memiki teman dan juga hal yang luar biasa menjadi kenyataan.
            Sekarang mereka sudah memasuki gudang di sayap barat sekolah. Sarang laba laba terlihat bergelantungan di langit – langit. Suara tikus membuat Ferra jijik. Tapi pikiran mereka sedang beralih ke hal yang lain.
            “Itu apa?” Ferry mengarahkan senternya pada sebuah lemari tertutupi kain putih. Lima sahabat itu mendekatinya dengan gugup dan takut. “Ini lokernya,” Dengan penuh keyakinan Ferry menarik kain putih yang menutupi. Ternyata benar dugaan Ferry. Itu memang loker. Warnanya biru berkarat. Di ujungnya terdapat nomor seri.
            “Nomor 49. Fer, kamu bener!”  Ferry merasakan tangan Rei meremas bahunya.
            “Ayo ih! Pake dramatis segala, Cepet! Aku mulai ngerasa enggak enak sama tempat ini...” Ferra merebut kunci yang tadinya di berada di tangan Rei. Wajah Rei tampak muram. Sepertinya sejak mereka berdua bertemu mereka tak pernah akur. Rei terdiam. Amarahnya membatin. Ia paling tidak suka jika ada orang yang merebut sesuatu darinya. Apalagi dari seorang perempuan. Rei sudah di buat jengkel oleh Ferra.
            Suara putaran kunci membuat hati kelima sahabat itu tak terkendali. Keringat dingin mulai bercucuran. Tangan dan kaki mereka sama- sama bergetar mengikuti irama darah.
            Ckreekk......,
            “Ha? Kok kosong?”
            Mereka bingung. Di dalamnya tidak ada apapun. Hanya ada debu menempel di sisi dinding loker. Tapi, mereka tetap lega tidak melihat hal yang buruk.
            Krseek....
            “Suara apa itu?” Begitu Kevin membalikkan dirinya, semua tidak berkata. Pak Rahmat sudah ada di depan hadapan mereka. Tatapannya dingin. Bajunya agak lusuh dan tidak terawat. Lenteranya di arahkan membuat mereka terkejut. Tak menyangka mereka sudah tertangkap basah oleh penjaga kunci itu.
            “Sedang apa kalian di sini?” suaranya serak – serak keringnya membuat keadaan semakin memburuk. Pak Rahmat mengalihkan perhatiannya pada loker. Wajahnya sama terkejutnya dengan kelima anak itu. “Kalian menemukan kunci loker itu?” Tanya pak Rahmat lebih tenang.
            “Iya pak, apakah bapak tahu apa isinya?” Tasya memberanikan dirinya. Pak Rahmat tersenyum. “ikut saya,” Mereka mengikuti pak Rahmat keluar dari gudang. Sudah seperti dugaan Tasya, pak Rahmat membawa mereka ke perpustakaan sekolah. Ia mengeluarkan buku harian kecil dari laci dekat meja Ms.W. Buku itu tersegel dengan gembok kecil bertekstur. Sampulnya sudah kusam dan robek – robek. Tangan keriputnya memegang buku harian itu dan memberikannya pada Tasya.
            “Apa itu pak?” Tanya Ferra masih bingung sendiri.
            “Saya juga tidak tahu. Beberapa tahun lalu, pak kepala sekolah meminta saya untuk melepaskan loker 49 dari ruang OSIS. Dan saat itu, saya tidak sengaja menemukan buku harian itu di atas loker nomor 49. Kurasa itu yang kalian cari.”
            “pak, tolong jangan sampai ada guru yang tahu kalau kami ke sini. tolong ya pak. Kami akan sangat menghargai jika bapak tidak memberitahu tentang semua ini pada guru – guru di kelas. Terutama Mrs. Rose,” Pinta Ferry.
            “Kalian sebaiknya pulang. Sekarang sudah larut. Apakah orang tua kalian tidak khawatir?” Tanya pak Rahmat seraya menutup pintu perpustakaan.
            Kelima petualang itu tersenyum. Buku harian itu yang sudah lama hilang akhirnya mereka temukan. Meskipun belum tahu apa isinya. Gembok kunci di buku harian itu membuat semua terasa misterius.
            Keesokan harinya......
            “gimana caranya kita ngebuka buku ini? Pake alat ajaibnya Ferry aja enggak bisa! Apa kita harus nyari petunjuk lagi? Pasti di dalam buku ini ada jalan rahasianya” Tanya Rei. Ia terus membolak – balikan buku harian itu tanpa alasan.
            “cenayang sih cenayang. Tapi kamu tahu sendiri ‘kan kalau Evy bukan orang yang nyimpen rahasia serumit ini. Pake logika dong,” Lagi – lagi Ferra dan Rei membuat suasana jadi memanas. Kini Rei sudah benar-benar tak menyukai Ferra. Mulai dari atas sampai bawah.
            “Terserah kamu,” ambek Rei.
            “Mungkin ada rahasia yang tak terduga. Seperti INVIBLE INK (Tinta tak terlihat)?” Tanya Ferry masih mengira – ngira apa isi buku harian itu.
            “Kalau ada gembok pasti ada kuncinya kan? Kita mulai cari kuncinya aja,” Tasya tidak mau menyerah hanya karena sebuah buku harian. Ia tetap harus memenuhi janjnya pada Evy.
            “Tasya, kalo kunci loker itu muat enggak?” mungkin perkiraan kevin tidak masuk akal karena kunci loker lebih besar dari pada lubang gembok untuk buku harian milik Evy.
            “coba aja dulu,” Tasya yang tak mau mengecewakan sahabatnya itu tetap mengambil kunci loker yang berada di kantong. “Apa....apaan ini?” Tasya melihat kunci itu dengan seksama.
            “Kuncinya kok jadi kecil?” Kunci itu benar – benar jadi lebih kecil dari ukuran semula. Tak perlu di ragukan lagi, Evy sudah menukar kunci loker menjadi kunci buku hariannya.
            “Mana? Lihat!”
            “Masa?”
            “Enggak mungkin!”
            “ kok jadi kecil?”
            Sahabatnya kebingungan melihat ukuran kunci loker. Tidak mungkin dalam sekejap kunci itu menyusut. Rei dan Kevin yang tidak tahu apa – apa dalam dunia mistis, sangat aneh melihat kunci itu menyusut.
            “Sya, coba buka pake kunci itu,” Ferra sudah tidak sabar ingin mengetahui isi buku harian rahasia itu. Begitu juga dengan yang  lain. Lima sahabat itu dalam sekejap berubah jadi serius tertuju pada buku harian.
            CKREK......
        “Album Foto?” nyatanya itu bukanlah sebuah buku harian, melainkan album foto. Foto hitam putih dalam album membuat semuanya buram. Hanya terlihat beberapa murid di  gambar di album itu. Tasya ingat kepada mimpinya beberapa bulan lalu.
            “Foto – foto ini. Aku ingat. Sebelum kalian berdua datang ke sekolah ini, aku bermimpi tentang Evy memotret pembunuhan itu!” perintah Tasya. Yang lain masih terdiam.
            “Kenapa kamu enggak bilang?” tanya Rei.
            “Bagaimana aku bisa tahu kalau foto – foto ini masih ada? Lihat saja. Semuanya sudah berjamur, kotor dan usang,” keluh Tasya.
            “Aku bisa saja memperjelas foto – foto ini. Dan juga menambahkan umur pada foto Aji, Erfan dan Dian. Jadi kita bakal tahu bagaimana wajah mereka di umur sekarang dan juga tempat tinggal mereka. Tapi karena peralatan sama aplikasi aku kurang jadi prosesnya butuh waktu berminggu – minggu. Tidak apa – apa kan?” Temannya yang mendengarkana Ferry tersenyum. Mereka sangat beruntung memiliki teman se-‘CANGGIH’ Ferry. Berkat Ferry, semua misteri terbabat oleh kejeniusan Ferry.
.Black feelings
          Hari ini Pesta perpisahan di adakan besar – besaran. Sebentar lagi Pak kepala sekolah Emir akan menjabat di sekolah lain. Begitu juga Mrs. Rose yang akan pensiun dalam satu minggu ini. Walaupun murid kelas senang dengan pensiunnya Mrs.Rose, tapi mereka akan selalu mengenang  kepergian Mrs.Farah dan juga perginya Pak Emir dari sekolah.
            Akibat Pesta ini, murid murid dibebas tugaskan dari sekolah. Tetapi mereka wajib datang dalam pesta ini. Karena sebenarnya ini bukanlah libur melainkan pesta perpisahan. Selama Mrs. Rose belum keluar dari sekolah ini, peraturan tetap di tegakkan. Selama pesta, murid hanya boleh mengenakan baju seragam.
            Seluruh murid bersalaman pada Pak Emir dan juga Mrs. Rose. Pegal di tangan serasa terhapus ketika Pak Emir harus melepaskan dirinya dari sekolah ini.  Air mata mulai berjatuhan. Tidak hanya murid, guru – guru juga mulai mengeluarkan kesedihannya di sana. Pesta ini akan terkenang selama – lamanya.
            Seminggu setelah Pak Emir pergi, sudah ada berita kalau tiga orang guru akan masuk sekaligus ke dalam lingkungan sekolah. Sangat jarang sekali guru sebanyak itu langsung menjabat menjadi guru. Tapi mau bagaimana lagi? Tiga orang guru itu menggantikan kepala sekolah, Mrs. Rose dan juga Mrs. Farah. Sudah seminggu kelas 7 – I tidak memiliki wali kelas.
            Upacara penyerahan jabatan pun di laksanakan. Semua murid tampak berser-seri ingin melihat ketiga guru itu.
            “Saya akan berusaha sebaik-baiknya untuk membuat sekolah ini lebih dari sebelumnya. Saya ingin seluruh murid di sekolah ini menjadi murid yang lebih baik dan berprestasi,” pak Dani, kepala sekolah yang baru sudah mulai membuat seluruh murid SMP 1 kagum.
            “bohong,” Hanya satu kata itu yang dari tadi terdengar di telinga Tasya, Ferry, Kevin dan Rei. Sejak bersalaman dengan pak kepala sekolah yang baru sampai dengan dua guru itu, Ferra tak hentinya berkata begitu.
            “ Ferra, kamu kenapa?” Tanya Ferry yang masih di landa kemisteriusan.
            “ Apakah kalian tidak merasakannya? Begitu kalian melihat ke tiga guru itu, hanya ada bayangan hitam. Aku tidak bisa masuk ke masa lalu mereka. Mereka seperti di jaga oleh sesuatu yang gelap, aku tak yakin apa itu. Mereka memiliki rahasia gelap,” Ferra merinding sendiri di ujung kursi. Bel sudah berbunyi dan keempat sahabatnya itu tak bisa berbuat apa-apa lagi selain kembali ke kelasnya.
            “ada apa dengan Ferra? overacting banget,” Rei masih ada rasa kesal dengan Ferra. tapi walaupun begitu sebenarnya Rei peduli pada Ferra.
            “aku enggak tahu. Aku harap dia baik baik saja,” Tasya mengambil buku sejarah dari kantong tasnya.
            “katanya Pak Dani, Pak Yudhi sama Pak Erwin bakal ke kelas kita dulu. Mau perkenalan. Apa lagi katanya Pak Yudhi yang ngajar di kelas kita. Keren ‘kan?” goda Kevin dari jajaran depan.
            “Shhhtt.... Trio teacher udah masuk,” Tia Menyiapkan kelas agar siap. Kemudian ketiga guru itu masuk dan memperkenalkan diri. Wajah mereka ramah tak ternodai. Tapi, apa yang dikatakan Ferra benar. Tasya dan Ferry tak bisa melihat kedalam jati diri ketiga guru itu. Kabut hitam membuat semua buram.
            Pak Dani dan Pak Erwin pergi keluar kelas sedangkan pak Yudhi masih ada di dalam. Ia mendikte pelajaran Bahasa. Saat mengajar Pak Yudhi sangat ramah. Ia membiarkan murid belajar di luar kelas bahkan jika sempat mereka juga memberikan hadiah berupa makanan ataupun souvenir.
            Akhir – Akhir ini semuanya mulai seperti surga. Kebaikan ketiga guru baru itu mulai menghipnotis murid – murid sekolah. Tak heran jika ada yang ingin di ajari oleh guru – guru itu. Tapi semuanya berbeda bagi Tasya, Ferra dan Ferry. Ada sesuatu yang guru – guru itu sembunyikan. Sesuatu yang gelap. Tapi mereka belum pasti. Tasya, Ferra dan Ferry tahu jika trio teacher memakai sihir yang menyimpang untuk menutupi diri mereka yang asli.
            “Trio teacher itu baik ya! Beda enggak kayak Mrs. Rose yang suka marah. Tasya, Ferra, Ferry kalian paling suka sama siapa di antara mereka bertiga?” Begitu mendengar Rei, mereka tertawa.
            “Mereka punya rahasia yang tak boleh orang lain tahu,” Gumam Tasya
            “Mereka pakai magis terlarang,” gumam Ferra.
            “Suatu hari rahasia itu akan jadi kehancuran untuk kita,” gumam Ferry.
            Rei yang belum percaya dengan perkataan sahabatnya, tertawa. Ia tak yakin apakah trio teacher itu baik apa jahat. Tapi yang jelas guru-guru ini membuat semua murid berpihak pada mereka.
            “Ah, kalian. Kalian tahu sendiri ’kan kalau trio teacher itu adalah guru impian seluruh sekolah di dunia,” Rei membanggakan ketiga guru itu.
            “Iya, benar kata Rei. Mana mungkin pak Dani, pak Yudhi sama pak Erwin mau ngehancurin kita? Ngawur!” Kevin kini mulai mendukung.
            “Aku enggak yakin. Tapi, menyimpan rahasia itu buruk. Apalagi menguncinya dengan magis terlarang,” ucap Ferra. “Pasti ada sesuatu,” Ferra beranjak dari kursinya. tatapannya mengarah pada pak Erwin yang baru saja memasuki kantin. Tanpa keraguan, Ferra langsung berhadapan dengan pak Erwin. Sahabatnya diam. Mereka tak sempat menghentikan Ferra.
            “Pak Erwin? Boleh saya duduk disini?” Tanya Ferra ramah. Tangannya membawa nampan makanan. Pak Erwin tersenyum memepersilahkan Ferra.
            “kamu kelas berapa?”Tanya pak Erwin
            “oh, saya dari kelas 7-E. Nama saya Syafeera Franchiska. Bapak bisa memanggil saya Ferra.” Pak Erwin mulai terjerumus ke dalam akting Ferra.
            PRANG......
            Sendok milik Ferra jatuh. Sebenarnya itu sengaja ia lakukan hanya untuk melihat ke dalam diri sebenarnya pak Erwin.
            “Biar saya ambil,” Tidak sengaja tangan Ferra menyentuh tangan Pak Erwin. Seperti sebelumnya, Ia tak bisa melihat apa – apa. Hanya kabut hitam yang menutupi mata. Ferra lagi-lagi terdiam. Sekarang ia beda dari sebelumnya. Matanya terlihat lebih marah. Sama seperti waktu ia pertama kali bertemu Tasya. Kepalanya berdiri tegak melihat pak Erwin.
            “kamu tidak apa – apa?” Tanya Pak Erwin seraya mengembalikan sendok ke nampan.
            “kau akan tertangkap. Dan semua orang akan tahu siapa kau sebenarnya,” Suara lirih Ferra membuat Pak Erwin bingung. begitu juga dengan keempat sahabat.  Mereka langsung menghampiri keduanya. Tangan Ferry menarik pundak Ferra.
            “aduh, pak maaf. Teman kami ini sering sekali berhalusinasi. Maafkan kami,” Rei dan Kevin mengangkat badan Ferra. Ferra tak berhenti melihat pak Erwin. Tatapannya mengancam, seketika Tasya tahu itu bukan Ferra melainkan Evy.
            “Fer, Fer, Sadar!” Ferry menepuk – nepuk pipinya. Ferra kembali sadar, Ia tak mengingat apa yang terjadi di kantin. Sama seperti saat ia mengamuk di kantor.
            “di, dimana aku?” Tanya Ferra yang baru sadar. Matanya kosong. “Apa aku kerasukan lagi?” Tanya Ferra polos.
            “ sepertinya iya, kamu kerasukan. Tapi aneh, apa yang Evy lakukan di tubuhmu saat mengobrol dengan pak Erwin?” Ferra, Ferry, Rei dan Kevin kaget. Mereka baru tahu yang merasuki Ferra ialah Evy. Seketika semua terlihat masuk akal. Ketiga guru itu, memiliki ikatan dengan pembunuhan Ryan dan Evy.
            “ Evy? Evy lagi? Berarti menurutmu ketiga guru itu memiliki ikatan?” ragu Ferra masih tak percaya.
            “Ferry, kita harus mengetahui catatan asli mereka mulai dari SMP sampai sekarang. Besok harus udah ada,” pinta Tasya.
            “aku akan berusaha sebaiknya,” ucap Ferry tersenyum.
Keesokan harinya..........
            “Fer, kamu bawa hasilnya enggak?” Tasya sudah menghadang Ferry sebelum masuk ke kelas.
            “Tenang, semuanya ada di flashdisk ini!” Ferry mengacungkan sebuah disk berwarna abu-abu dengan sticker nama di atasnya. Farry pun mengeluarkan laptop miliknya. Ferra yang pertama kali masuk ke kelas 7-I merasa gugup. Untungnya, seluruh murid masih ada di luar kelas. Kelima sahabat itu berusaha melihat laporan Ferry
            “ Ini dia yang sama dari ketiganya. saat mereka lahir mereka langsung di bawa oleh orang tua mereka masing – masing ke Sydney, Australia. Sejak itu, nihil. Tak ada catatan apa pun tentang mereka. Tahu – tahu mereka kesini sudah menjadi sarjana. Dan akhirnya mengajar di berbagai tempat. Dan secara kebetulan mereka bertemu di sini, SMP 1.” Jelas Ferry.
            “Aku enggak percaya. Enggak mungkin mereka punya bertemu kebetulan. Pasti ada penjelasan mengapa mereka memiliki magis terlarang,” Ferra menggelengkan kepalanya. Ferra masih penasaran kemana catatan catatan mereka selama masih di Australia.
            “Aku bisa aja nyari lebih banyak. Tapi aku harus meretas sistem pemerintah. Tapi jika aku melakukannya, bisa – bisa aku di tangkep. kalau bisa, aku bakal nyari cara paling aman,”  hibur Ferry.
            “Ya Ferry, lakukan itu dengan cepat. Oke, selamat bekerja,” Rei kembali ke duduknya. Kevin ingin sekali menyelidiki kasus ini seperti yang dilakukan Ferry. Baginya,  Keahlian Komputer sangat sulit. Ia tak bisa seperti Ferry. Kevin berdiri dan melangkah ke luar kelas. Tasya mengikuti Kevin. Kevin mengarah ke taman sekolah. Ia duduk di bangku taman sama seperti yang biasa di lakukan Tasya.
            “Kevin? Kamu enggak apa-apa?” Tanya Tasya dari kejauhan. Ia melihat Kevin diam sendiri.
            “hmmm... Tasya, kamu inget enggak pas kamu sama Tania jatuh dari tangga sekolah?” Kevin masih merenung. Ia memperhatikan perkebunan mawar di depannya. Patung seorang guru terletak di tengahnya. Sudah kusam dan berlumut, tapi menyimpan kekal rahasia sekolah tersebut.
            “Bagaimana bisa aku lupa? Aku yang menimpamu, dan akhirnya kamu benjol deh..” Tasya cekikikan.
            “Itu juga pertama kalinya kita bertemu bukan? Aku harap Tania masih ada disini. Bersama kita. Tania itu anak baik. Kenapa mesti gini?” Wajah Kevin merenung. Mendengarnya Tasya ikut terbawa suasana. Angin berhembus kencang mengingatkan mereka akan masa lalu.
            “Ini, ini yang disebut takdir. Sekalipun seorang cenayang bisa tahu kapan seseorang akan mati tapi tetap saja, ia tak bisa mengubah takdir ataupun menghentikannya,” Tasya masih berada di sebelah Kevin.
            “Huh, itu masa lalu bukan? Kita tak bisa mengubahnya. Sama seperti katamu. Ayo masuk kelas. Anginnya besar,” Ajak Kevin.
            Kevin dan Tasya yang masih dilanda bayangan masa lalu tetap belum putus asa. Mereka yang sama – sama merasakan bagaimana sakitnya kehilangan teman, sangat mengerti dengan keadaan Evy. Sebenarnya, Evy hanya ingin mereka menemukan Aji, Dian dan Erfan yang masih hilang tanpa jejak. Sementara itu, Ferra, Ferry dan Rei sudah semakin dekat dengan sepasang sahabat itu. mereka ingin lebih dekat dari pada seorang teman. Dan mereka bertiga membuat semuanya berubah.
Tour of Nightmare
          Ini sudah ke – LIMA kalinya Ferra melihat arloji. Hatinya berdetak sangat kencang. Ia menunggu seseorang yang tak lain adalah Rei yang ketelatan.
            “si Rei kemana sih? Bis udah mau berangkat, kok bisa – bisanya dia telat? Nanti gimana kalau Rei enggak kebagian tempat duduk? Gimana kalo dia ketinggalan?” kini Ferra menambah kekesalannya pada Rei. Tasya yang duduk di sebelah melihat ke arlojinya. Tasya tertawa kecil melihat temannya yang ketakutan.
            “Kamu ini kenapa? Sekarang masih jam setengah tujuh. Bisnya juga berangkat jam 7,” Mendengar Tasya, Ferry mulai menggoda Ferra.
            “Sya, dia itu T-R-A-U-M-A” Eja Ferry sambil mengutak – atik laptop mininya.
            “Trauma apa?” Tanya Kevin menyingkirkan syal yang melilit lehernya.
            “Waktu masih SD, Ferra awalnya suka telat bangun tidur. Nah, pas ada study tour ke Bali, dia telat bangun. Jadinya dia enggak bisa ngejar temen – temennya yang udah masuk ke pesawat. Jadi aja dia ngambil jadwal  keesokan harinya. Hahaha.....” goda Ferry. Warna wajah Ferra merah padam. Ia menutup telinganya seakan tidak mendengar.
            “Ihk! Ferry, aku ‘kan udah bilang itu rahasia!” Ferra memalingkan wajahnya ke luar jendela. Bis – bis yang berjajar di depan sekolah menutupi pemandangan. Dari jauh terlihat wajah yang familiar dan tak asing lagi.
            “Itu Rei! Rei cepet masuk!” sorak Ferra. Rei berjalan ke arah bis. Untungnya masih ada beberapa kursi yang disisakan oleh Kevin dan Ferry. Rei menutupi ketelatannya dengan menyalahkan tur hangat ini.
            “Tur ini nge-dadak banget. Hanya gara-gara ulang tahun sekolah yang ke- 79 aja, semua murid harus ikut. Padahal  dua minggu lagi’kan kita ada ujian,” keluh Rei yang baru datang seraya menyimpan Tas punggungnya yang terlihat penuh ke atas tempat barang. Saking penuhnya sampai-sampai perut tas tidak muat ke dalam rak. Rei terpaksa harus mengeluarkan sebagian barang.
            “ngeluhnya jangan ke kita dong, sana gih ngomong ke trio teacher itu. kan mereka yang bikin keputusan tur ini. Aku benarkan?” Tanya Ferra. Wajahnya memerah seperti saat mereka di gudang.
            “ Terserah kamu,” ambek Rei yang kedua kalinya.
            BRMMM......
            Bis – Bis yang berjajar kini mulai menyalakan mesinnya. Suara anak – anank mulai kegirangan. Selama perjalanan, murid – murid bernyanyi, bermain seperti masih anak – anak. Tapi beda lagi dengan kelima sahabat ini. Rei, selama perjalanan ia hanya tertidur dengan lelap. Ferry, dari sejak masuk ke bis, ia terus mengutak – atik alat baru ciptaannya. Kevin mendengarkan musik lewat headphone. Dan Ferra sama halnya dengan Rei. Mereka tertidur pulas di bis.
            Tasya tak bisa tertidur. Karenanya, ia terus memperhatikan Ferry yang sedang memodifikasi benda yang ada di tangannya.
            “Fer, apaan sih itu?” Tanya Tasya penasaran.
            “Ini, ini namanya ShockSet,” dengan bangga Ferry menaikan ciptaanya.
            “ShockSet? Nama yang bagus. apa kegunaannya? Nyetrum?” tebak Tasya begitu mendengar kata shock.
            “Ya, tapi ini bukan alat penyetrum biasa. Dengan alat ini, aku bisa nyetrum tiga orang sekaligus. Belum lagi yang kena setrumnya pasti bakal pingsan selama lebih dari 2 jam. Hehehe.......” disela pembicaraan mereka, Ferra baru terbangun dari tidurnya yang lelap,
            “Hati – hati sama alat itu. kamu ingat terakhir kali kamu pakai barang gila itu? aku hampir mati kesakitan.” ambek Ferra. Tasya menutup mulutnya menandakan terkejut.
            “Iya, ya! Terserah deh, pokoknya kali ini enggak akan meleset. Aku jamin 99,9%” kata Ferry. Rei terbangun dari mimpinya yang indah. Matanya masih kelap – kelip.
            “Hua.....kok ribut sih? Mending tidur kayak aku. Di jamin 100% leher bakal sakit,” goda Rei berpura – pura tidak tahu apa yang terjadi.
            “Tuh, kalau ngejamin harus kayak Rei dong, 100%. Kalau 99,9% sih, 0,1%nya kemana-in?” yang lain terkejut mendengar pernyataan Ferra.
            “ini mimpi aku aja atau kamu emang udah akur sama Rei?” Kevin tersenyum dari kursi empuknya. Headphone masih tertempel menjepit telinga.
            “ENGGAK!” bantah Rei dan Ferra bersamaan. Satu sama lainnya memperhatikan. Kebencian tak jelas ada di wajah mereka. Tawa ketiganya meledak seperti balon pecah. Murid murid dari depan melihat dari belakang. Raut wajah mereka terlihat masih ngantuk dan juga marah terbangun karena berisik. Karenanya, mereka jadi cekikikan. Tasya melihat keluar jendela.
            “Kita sudah sampai,” serunya ketika melihat gerbang besar dan megah. Di depannya ada taman indah dengan semak – semak bertuliskan “Taman Mini Indonesia Indah” terpampang besar. Yang lain melihat keluar jendela. Sepertinya semua sudah tidak sabar ingin Keluar dari bis yang sumpek. Dari kejauhan sudah terlihat gerbang tinggi menjulang ke atas.
            “wah, banyak bule ya?” canda Rei.
            “kampungan banget kamu! Ndeso,” Ferra mengakhiri candaan Rei.
            “terserah kamu,” ambek Rei untuk ketiga kalinya.
            Ketua OSIS masuk ke bis yang kebetulan di tumpangi oleh lima sahabat remaja itu. Ia membawa mikrofon di tangan kirinya.
            “Semua anak – anak diharap berbaris keluar. Barang yang tidak perlu di bawa, seperti baju dan barang yang lainya.  Barang yang berharga harap dibawa. Terimakasih”  seru Kak OSIS.
            “Ferra, kamu bawa kamera enggak?” Tanya Ferry.
            “Loh, aku kira kamu yang bawa,”
            “ngaco kamu! Orang kameranya ada di kamar kamu kok,” Ferry sedikit kesal
            “Hush, enggak usah ribut napa?” Kevin yang dari tadi melihat pertengkaran di bus mulai kesal juga.
            “aku bawa kamera kok. Tenang aja. Kalian bisa pinjem yang punya aku,” hibur Tasya.
            “Thank’s Tasya!”
            Kelima sahabat pun memulai liburannya. Mereka harus tetap bersatu dengan guru – guru dan murid yang lain. Tempat yang paling pertama di kunjungi adalah Anjungan anjungan dari berbagai daerah.
            “Ayo masuk!” Pandu Pak Haris, guru kesiswaan.
            Semua anak mengikuti Pak Haris. Mereka takjub dengan anjungan – anjungan tersebut. Dari berbagai provinsi, mereka menyajikannya dengan lengkap. Mulai dari rumah, patung, baju adat, semua ada di sana.
            “Tasya, kamu bisa fotoin aku enggak di sana?” Ferra menunjuk ke arah gajah yang terletak di anjungan nusa tenggara barat.
            “masuk yuk,” Tasya menarik tangan Ferra keluar dari barisan.  Mereka berlari memasuki gerbang. Kevin yang melihat Tasya keluar dari rombongan heran.
            “Ferry, Tasya sama Ferra mau kemana tuh?” Tanya Kevin.
            “Katanya mau foto bareng gajah,” Tanpa banyak berkilah, Kevin berlari masuk ke gerbang mengikuti Tasya. Rei bingung baru menyadari hanya ada Ferry di sebelahnya.
            “Kevin, Tasya sama Ferra kemana?” kepalanya memutari daerah sekitar.
            “Tuh, mereka foto bareng gajah,” Ferry menunjuk Ferra yang sedang berpose di depan gajah.
            “Ke sana yuk!” Rei menarik tangan Ferry, sama halnya dengan yang dilakukan Tasya.
            Kamera Tasya menjepret sana sini. Ferra tinggal bergaya saja di depannya. Kevin, Rei dan Ferry ikut-ikutan berpose hanya untuk kesenangan. Saking sibuknya berpose, mereka tidak menyadari sudah ditinggal rombongan.
            “Rei, kamu liat enggak yang lain pada kemana?” Tanya Ferry.
            “Ih, dari tadi aku cari juga enggak ketemu,”
            “Apa mereka ke anjungan yang lain?” Tanya Ferra ragu – ragu.
            “Yey, siapa juga yang suruh keluar jalur? Jadi aja kita yang tersesat,” Keluh Rei.
            “Jangan salahin aku dong. Kalau kamu enggak ngikutin aja, pasti kamu enggak bakal tersesat kayak gini,” ucap Ferra
            “Tapi tetep aja kamu yang ngajak,” Kekeh Rei.
            “Udah ih, jangan ribut! Mending kita keliling dulu.” Tasya berjalan meninggalkan sahabatnya yang masih bercekcok mulut.
            “Ikutin si Tasya aja,” Kevin sudah mulai bosan dengan perdebatan ini. Sering kali Rei dan Ferra bertengkar hanya untuk hal sepele. Akhirnya mereka mengikuti Tasya dan Kevin yang sudah berada di depan.
            Anjungan demi anjungan mereka masuki. Tapi tetap saja, mereka tak menemui teman – teman SMP-nya. Mereka berjalan tanpa kelelahan. Ketakutan terlukis di benak mereka.
            “ Tasya, kamu bawa hape enggak?” Tanya Ferra lesu.
            “Aku enggak bawa deh kayaknya. Coba tanyain ke Kevin,”
            “Kev, bawa hape enggak?”
            “Justru itu. hape aku lowbat dipake muterin lagu,”
            “Aku bawa hape,” ucap Rei.
            “ya elah, Siapa gitu yang nanyain ke kamu?”
            “sewot banget sih! Udah ah, yang penting ada hape kan?” keluh Rei.
            “Rei, kok hape canggih enggak ada pulsanya?” goda Kevin.
            “masa? Aduh, lupa ngisi pulsa! Gimana dong?”
            “Aku bawa hape. Nih,” Ferry menyodorkan Hand Phone touch screen dari tasnya.
            “Ferry, Kamu punya nomor Hapenya anak kelas ?”
            “aku cuma punya nomornya Tia doang ”
            “Ah enggak papa,”
            Tangannya bergemetar. Berharap akan balasan dari Tia. Semua sahabatnya telah putus asa.
            “Halo?”
            “Halo, Tia? Ini Tasya. Kamu lagi dimana? Aku, Rei, Kevin, Ferry sama Ferra ada di depan kumpulan tempat ibadah.”
            “Tasya? Kamu di mana? Dari tadi dicariin. Kita lagi ada di museum Keprajuritan nih. Cepet kamu ke sini!”
            “Kita bakal ke sana. Tungguin,” cepat – cepat ia menutup handphonenya.
            “katanya rombongan masih ada di museum keprajuritan,” ucap Tasya
            “dimana Museum keprajuritan?” tanya Kevin.
            “aku tau jalannya. Ayo!” sahut Ferry.
            Matahari sudah naik tinggi. Panas langung mengenai ubun-ubun. Kelima sahabat baru itu terus berjalan mengikuti sang pemimpin. Panas terik matahari terus menyengat kulit mereka. Keringat bercucuran membuat suasana menjadi tak enak dipandang. Mata Ferra terlihat merah bukan ngantuk. Dia tidak bisa menangis di hadapan teman – temannya, bahkan jika itu yang sangat ia inginkan.
            “Fer, kemana lagi?” Tanya Rei yang sudah melihat Ferry kebingungan. Ferry sepertinya menyadari kalau dirinya tersesat. Hanya saja ia tak tahu mau berkata apa.
            “hmm... sepertinya ke sana, eh bukan, kayaknya ke sini deh. Atau ke sana ya?” Ferry ragu-ragu. Yang lain melihat ke arahnya. Kecemasan sudah tersirat di wajahnya. Segera mereka tahu kalau Ferry juga kehilangan arah.
            “oke, bagus kita tersesat. Kok di sini sepi ya?” seketika suara tak terdengar lagi di jalanan itu. tak ada lagi kendaraan yang kesana – kemari. Di sekitar mereka hanya ada ruko berjajar. Dari kejauhan mereka tak melihat siapa – siapa di jalan itu. hanya mereka, mereka sendiri.
            “tuh ada orang. Aku tanyain ya!” Ferra berjalan mendekati seorang wanita yang sedang duduk sendirian.
            “Permisi?” Ferra menundukkan kepalanya, mencoba untuk melihat wajah seorang wanita itu. Ia memakai jaket bewarna merah ati. Kulitnya pucat kedinginan. Padahal hawa sekarang sangat panas. “kalau museum keprajuritan, arahnya kemana ya bu?” begitu mendengar suara Ferra, ibu itu berdiri. Ia mengangkat tangannya mencoba menunjuk sesuatu. Telunjuknya bergetar. Bagi Ferra itu maklum karena ia sudah tua.
            “oh, kesana ya bu? Terimakasih.....,” Ferra berjalan menghampiri teman-temannya. Ferra heran ketika temannya tak berhenti menatap matanya. Hanya Tasya saja yang tidak begitu.
            “Kamu bicara sama siapa Fer?” Tanya Rei.
            “kamu enggak liat? Aku nanya arah ke ibu it....” di tempat ibu tadi duduk tak ada apapun kecuali bangku yang kosong.
            “jangan bilang kalau kamu bicara sama hantu!” Kevin menelan ludah.
            “aku yakin dia bukan hantu. Tapi, sepertinya ibu itu memang hantu,” ucap Tasya. Keadaan masih serius. Mereka menatap satu sama lain. Tiba-tiba kepala mata Ferra menangkap sesuatu yang berdiri di belakang Rei. Ia mengambil satu langkah mundur.
            “Rei, sesuatu yang ada di belakang kamu menyuruh kita untuk cepat pergi,” begitu mendengar apa yang diucapkan Ferra, Rei tak berani untuk melihat ke belakang.
            “apa? Ayo kita pergi, kemana arahnya Ferra?” matanya aneh. Terlihat ketakutan yang luar biasa disana.
            “ke arah sana. Ayo,” mereka mencoba untuk menghiraukan apapun yang ada di belakang Rei tadi. Mereka yakin kalau yang sebenarnya dilihat Ferra adalah ibu tadi. Walaupun begitu, mereka tak berani untuk membicarakannya.
            Mereka terus berjalan lurus. Kekhawatiran mereka mulai hilang. Jalanan yang tadinya sepi kini mulai dipenuhi pengunjung. Tasya melihat ke belakang. Ia heran melihat banyak sekali orang yang berjalan. Sementara tadi, ia merasa hanya mereka berlima saja yang ada di jalan. Tasya tahu jika itu adalah sesuatu yang patut di ceritakan. Tapi ia tahu jika teman-temannya hanya ingin kembali bertemu rombongan. Tasya tak ingin teman-temannya ketakutan akan hal yang lain.
            “itu Putri, Tia sama Winni bukan? TIA!” teriak Rei begitu sadar itu adalah teman sekelasnya. Tia langsung bereaksi mendengar teriakan Rei
            “Hey! Kalian darimana aja?” Tanya Tia.
            “Kita? Foto-fotolah. Untung aja ketemu kalian. Kalo enggak, kita bisa nyasar!” sela Kevin.
            “Ah, kita tuh dari tadi ke teater keong emas, gantola, terus ke museum – museum. Rame loh, kalian tadi selain foto-foto, kemana aja?” tanya Putri setelah menceritakan kegembiraannya hari ini. Tapi beda dengan kelima sahabat itu.
            “nyari kalian. Cape tau! Kita aja enggak sempet yang namanya jalan-jalan. Heuh!” keluh Ferra
            “rombongan mau pada ke mana?” Tanya Tasya melihat yang lain sudah berjalan ke arah yang lain
            “ke bis. Sekarang udah jam 5. Waktunya check-in ke hotel,” jawab Winni polos.
            “yah, kok udah ke hotel lagi? Kita juga belum mainnya,” dengus Ferra.
            “Ah, enggak rame. Kita cuma kebagian keringat doang,” keluh Ferry.
            “udahlah, jangan ngeluh. Berangkat yuk! Nanti ketinggalan rombongan lagi,” melihat rombongan sudah pergi, Tasya dan yang lain langsung menghampiri. Setidaknya, sekarang mereka tak usah khawatir akan kehilangan rombongan. Walaupun lima sahabat tak bisa merasakan wahana seperti yang lain, mereka sudah mendapat pengalaman sendiri. Bertemu dengan sesosok wanita yang masih tak diketahui identitasnya.
           
Enchanted Castle
            “Wow! Akhirnya nyampe!” Rei masih setengah sadar. Nyawanya belum terkumpul. Suara rem ban membuat semua terbangun.
            “siap – siap ah,” Ferra menurunkan beberapa tas dari tempat penyimpanan di atasnya. Melihat Ferra , semua anak di bis mulai menurunkan barang – barangnya. Begitu bis berhenti, mereka langsung turun dari bis. Merasakan angin malam berhembus. Hotel Castle yang awalnya bernama hotel Istana , sudah tak asing lagi di telinga mereka. Konon hotel ini adalah hotel tertua di sana. Di sini, hotelnya hanya bertingkat 5, tapi fasilitasnya masih dianggap lumayan karena memiliki cafetaria pagi dan juga kolam renang.
            “eh, sekarang  jam berapa vin?” Tanya Rei yang masih berusaha mengeluarkan Tas yang terjepit di pintu bis.
            “masih jam 7,”
            Tanpa di perintah, murid – murid sudah berbondong masuk ke ke dalam hotel yang akan di tempati, hotel Castle.
            “kita baris dimana?” tanya Tasya. Anggota rombongan yang lain mulai berbaris. Sementara itu, guru yang lain berusaha merapikan. Yang paling tidak disukai Ferra adalah hal ini. Karena berbeda kelas, Tasya dan Ferra tidak bisa sekamar.
            “ini adalah daftar kamar dan teman sekamar kalian. jika sudah tahu teman sekamar kalian, tolong  secepatnya bergabung dengan teman kalian. paham?” guru - guru membagikan selembaran kertas berisi data murid.
            “sudah aku duga. Aku sekamar sama, Uly, Ama dan floren. Hua.... Tasya, kita enggak sekamar!” rengek Ferra sambil memeluk Tasya.
            “hush, enggak apa – apa. Untung kamu sekamar sama yang baik – baik. Coba lihat aku sekamar sama siapa?  Nadine, Vika, sama Tia. Untung masih ada Tia. Kalo enggak, aku udah mati di gerebeg DIVA,” kata Tasya sambil memegang dadanya.
            Semua murid berpasangan. Begitu melihat Tasya, Tia langsung memegang tangan Tasya. Tia melirik ke sekitarnya, berusaha mencegah sesuatu atau sesorang menghampiri mereka.
            “parah banget aku sekamar sama DIVA! Untung ada kamu,” Tia tersenyum pada Tasya. Senyumnya menghilang ketika melihat sesuatu yang tak diharapkannya datang dari depam.
            “hei Tia! Khemm.... jadi kita sekamar sama Tasya? Enggak rame ah!” begitu menyengat kata – kata yang dilontarkan Nadine. Sepertinya Tasya bukan apa – apa dimata mereka.
            “anyway, jalan yuk! Kita kamar berapa? 145 ya? Lets go!”mereka berdua berjalan mendahului kedua temannya. Bibir Tia mengerut, matanya memicing. Begitu kesal melihat Nadine dan Diva berjalan. Seperti model amatiran dipinggir jalan. Tia sangat tidak  menerima Tasya diperlakukan seperti itu. sekalipun Tasya kurang gaul.
            “Ayo jalan,” Tasya menarik Tia ke arah berlawanan. Mereka tahu benar kalau arah yang dilalui kedua bintang amatiran itu salah. Hanya saja mereka berniat untuk tak memberitahu. Mereka keluar menuju lorong hotel. Lorong itu tak bertembok. Di luar terlihat kolam renang yang besar.
            “kolam renangnya serem banget! Udah gelap, patung putri duyung kayak gitu malah bikin merinding!” komentar Tia membuat keadaan semakin memburuk. Tasya juga memperhatikan patung itu sejak masuk ke lorong. Patung putri duyung itu seperti mengawasi siapa pun yang datang ke hotel itu. tak hanya satu, patung itu berada di ujung sisi – sisi kolam renang.
            “cepet jalannya,” Tasya tak berkata – kata. Ia mengalihkan perhatiannya pada kamar kamar di depan.
            “142, 143, 144, 145, nah ini dia. Mana kuncinya?” tanya Tia.
            “ini,” Tasya menyerahkan kuci dengan gantungan Istana menempel padanya.
            CKREK.....
     “Assalamu’alaikum!” Tia menyalakan lampu yang berada di sebelah pintu. Kamar itu di penuhi barang barang. Ada kulkas, lemasri, kasur dua dengan tambahan 2 kasur di sebelahnya. Pas sekali untuk empat orang.
            “kemana DIVA? Mereka belum nyampe?” Tanya Tasya membuka tirai jendela.
            “enggak tau ah! Nyasar mungkin? Yang peting siap – siap dulu,” Tia mengeluarkan beberapa baju dari ranselnya.
            “aku keluar dulu ya, ada perlu,” Tia mengangguk mendengar permintaan Tasya. Tasya langsung membuka pintu. Ternyata di luar sudah ada yang menunggu Tasya. Yang tak lain adalah Ferra.
            “Tasya ini kamar kamu? Wah, aku disebelah loh! Kamar 144. Enak ya!” Ferra kegirangan masih menggendong ransel hitam dengan hiasan stiker tengkorak merah muda di atasnya. “ DIVA belum dateng ya?” Ferra memperhatikan seisi ruangan.
            “KITA DISINI!!!” Teriakan tak terduga datang dari belakang. Terlihat wajah DIVA yang berantakan, kesal dan malu.
            “oke, aku masuk ke kamar aku ya, dah.” Ferra melambaikan tangan ke arah sahabatnya. Tasya didorong ke dalam oleh kedua bintang itu. ia tak sempat membalas lambaian Ferra.
            “Kok kasurnya cuma dua?” Tanya DIVA masih dilanda frustasi.
            “maka dari itu ada tambahan 2 kasur. Jadi biar adil, ki....”
            “Aku sama Nadine di atas, kalian berdua kasur tambahan. Oke!” dengan laganya, mereka melemparkan koper berwarna merah muda polkadot ke kursi. Dan duduk di kedua kasur itu.
            “ Enggak sopan! Kita duluan kok yang nyampe. Kalian yang harusnya di kasur tambahan. Tapi karena aku baik, kita tidurnya di satu kasur untuk berdua.” Tia mendorong Vika dari kasr yang didudukinya.
            “Euh, ngeluh banget! Kita itu lahir tahun 1998. Kalian lahir tahun 1999! Walaupun sekelas, hormatin dong yang tua! Jadi kita yang harusnya di atas!”
            “kebalik dong! Yang tua kan harusnya ngalah. Jangan berlagak sok cantik deh. Jangan mentang – mentang kalian banyak penggemarnya, jadi ngerasa cantik. Ingat, kita itu terbuat dari tan...”
            “heup ceramahnya! Udah ah aku mau tidur! Iya deh, kita di kasur pertama, kalian di kasur ke dua. Puas?” Nadine menutup telinganya. Sementara Vika seakan tak peduli. Ia sibuk mengeluarkan beberapa kosmetik dari tasnya. Mulai dari pemulas bibir sampai parfum bermerek pun ada.
            “whatever!” Tia mengikuti gaya DIVA. Ia hanya ingin menguji kesabaran DIVA yang masih tak mempedulikannya.
            Sekarang semua sudah terlelap di ranjang. Tasya tak bisa tidur padahal sudah jam 12 malam. Ia masih memikirkan Evi yang tak datang beberapa hari ini.
     Dug tak , tak dug tak! Dug tak ,tak dug tak!
            Tiba-tiba suara gendang terdengar dari kamar sebelah. Suaranya tak mau berhenti dan terus berulang. Tak sengaja suara itu membangunkan yang masih tidur.
            “Suara apa itu?”
            “Ya tuhan!”
            “ AAARRRGGHHH!”
            Mereka benar – benar terbangun dengan suara gendang yang berasal dari kamar sebelah, kamar yang di tempati Ferra. seketika Tasya tahu kalau itu bukan halusinasinya. Mereka menyalakan lampu yang menggelapkan kamar. Mereka berusaha meraih tangan pintu. Begitu Tasya membuka pintu, orang lain yang berada di kamar lain juga terbangun. Mereka fokus ke arah kamar 144. Di luar sudah ada Ferra, dengan teman – temannya keluar. Ferra benar – benar ketakutan. Tasya berlari  mengampiri mereka. Tangan, kaki, bahkan sekujur tubuh mereka bergetar. Ketakutan Ferra luar biasa bukan main.
            “Fer, ada apa ini?” Tasya mencoba menutup telinganya.
            “LIHAT ITU!” Ferra menunjuk ke ujung ruangan dimana sebuah gendang di pajang sebagai hiasan. Gendang itu berbunyi sangat keras, padahal tak ada yang bermain. Tapi tidak bagi Tasya dan Ferra, mereka berdua melihat seseorang bermain gendang. Tubuhnya kecil, mukanya memakai topeng seperti topeng kayu. Bajunya hitam tak terawat.
            “ Apa yang kamu lakukan? Tolong pergi, jangan menganggu temanku!” Tasya berteriak kepada arwah hantu itu. tangannya berhenti menabuh gendang tadi.ia melihat ke arah tasya. Mata tasya terbelalak merasakan arwah hantu itu menyadari kehadirannya. Tanganya terangkat dari gendang dan beralih ke arah topeng. Tangannya pelan – pelan membuka topeng yang melekat pada mukanya. Tiba – tiba ia berteriak kesakitan. Mukanya meleleh. Asap bertebaran keluar dari topengnya. Yang lain tak bisa melihat hantu bertopeng itu. seketika arwah hantu tadi hilang. Hanya tersisa gendang di ujung ruangan.
            Orang – orang yang berhamburan dari kamar hotel menyaksikan kejadian itu. bukan bagian saat arwah hantu membuka topengnya dan meleleh, tapi saat Tasya berteriak menyuruh arwah itu untuk pergi. Seketika semua menjadi takjub mendengar suara gendang itu berhenti. Mereka yang yakin ada sesuatu dengan gendang itu dan melihat Tasya menghentikannya, mereka langsung tahu bahwa Tasya bukanlah seseorang yang biasa.
            “Ba...Bagaimana kau melakukan itu?” Tanya Pak Erwin yang kebetulan berada di dekan kamar 144.
            “Tasya, apakah kamu punya sihir?” Tanya Uly masih gugup.
            “Bukan sihir! Tapi cenayang. Dia dan aku adalah seorang cenayang!” Tanpa sengaja Ferra membocorkan rahasia yang di simpan baik oleh kelima sahabat. Kevin, Rei dan Ferry yang baru sampai kaget mendengar Ferra yang membuka mulutnya. Sekarang seluruh kelas tahu siapa sebenarnya Tasya dan Ferra.
            “Ferra! “ Rei berusaha membuat Ferra diam. Tapi tetap saja yang lain sudah tahu.
            “Kalian bisa lihat hantu?”
            “Bagaimana caranya?”
            “pake sihir bukan?”
            “Kalau hantu bentuknya kaya gimana?”
            Rumor sudah beredar kemana-mana malam itu. Tidur Tasya tak bisa tenang karena bakatnya. Bagi Ferra, mungkin tak terlalu masalah. Tapi bagi Tasya, itu adalah masalah yang besar.
            Singkat cerita.....
            “Sya, Tasya, Sya, Tasya Bangun! Hotel ini aneh sya!” Tia berusaha membangunkan Tasya dari tidurnya.
            “ada apa?” Tasya mengangkat kedua kakinya. Jari tangannya mengusap mata yang terkantuk.
            “patungnya Sya! Patungnya!” Tia seperti tak bisa melanjutkan kata – katanya.
            “patungnya kenapa?” Tanya Tasya.
            “patung yang kemarin berubah Sya!” Tia menarik tubuh Tasya keluar kamar. Mereka berlari keluar hotel menuju kolam renang. Benar yang dikatakan Tia. Patung itu benar – benar berubah. Tasya tahu itu hal yang tak mungkin terjadi, karena patung yang berbentuk putri duyung itu berubah bentuk menjadi gajah yang sedang berdiri.
            “mungkin patungnya diganti,” jawab Tasya menenangkan Tia yang terguncang.
            “enggak Sya! Kata penjaga kolam renang, patung putri duyung itu udah di buang. Mana mungkin balik lagi Sya?” Tasya tak mendengarkan penjelasan Tia. Matanya terlihat sedang memperhatikan satu objek. Tasya yakin ia tak berhalusinasi, karena yang ia lihat adalah arwah hantu bertopeng yang ada di kamar 144 tadi malam. Arwah itu berdiri di sisi kolam yang berbeda.
            “Tia, tenang aja. Di sini, ada seseorang yang ingin bermain dengan kita. Jadi kita ikuti saja permainannya.” Tasya melepaskan genggaman Tia dari pundaknya.
            “Apa maksudnya? Kamu kan yang bisa liat hantunya. Siapa yang mau main Sya?” Tanya Tia masih kebingungan. Tasya tersenyum.
            “ayo masuk, disini tidak aman.” Tasya menarik Tia keluar dari tempat kolam renang itu. kolam renang yang masih memiliki misteri yang melilit sejarah hotel itu.
            Mereka kembali ke kamar. Disana Nadine dan Vika sedang asyik berdandan. Mereka bertawa canda. Tasya dan Tia tak memperdulikannya. Tasya membawa handuk dan langsung pergi ke kamar mandi. Beberapa lama setelah itu...
            Tok....tok.....tok....
            Saat Tia membuka pintu, Kevin dan Ferra sudah menunggu diluar. mereka terlihat terengah-engah.
            “huh.... Tasya mana?” wajah Kevin pucat. Ia masih memakai piyama tidur.
            “masih mandi. Ada apa?” Tanya Tia keheranan. Begitu Tia berbicara, Tasya sudah keluar dari kamar mandi. Tangannya masih memegang handuk yang terlilit ke rambut. Untung saja dia sudah memakai baju.
            “Ferra, Kevin? Ngapain kalian ke sini?” Tanya Tasya menghentikan kegiatannya.
            “Tasya, ayo!” mereka tak mempedulikan Tasya yang masih memakai handuk di kepalanya. Kevin menarik tangan Tasya yang licin ke kamar 121, dimana Ferry, Kevin dan Rei tidur.
            “Ferra? Ferry? ada apa?”
            “Tasya lihat ini! Aku sudah mencoba nambah umur pada foto Aji, Erfan dan Dian, lalu aku mencocokan dengan ketiga guru baru tersebut dan hasilnya,,,,”
            “cocok,” sela Ferra
            “awalnya aku enggak percaya, tapi lihat! Ketiga guru itu tak memiliki catatan apapun di australia,” Ferry menunjuk ke layar laptopnya
            “maksud kamu mereka memalsukan identitas?” Tebak Rei
            “sepertinya kamu benar. Tapi hal seperti itu sangat ilegal dan tak boleh dilakukan,”
            “mungkin mereka memiliki teman atau orang yang dibayar di pemerintah,” tebak Ferra.
            “Kenapa ketiga guru baru itu harus memalsukan identitas?” Tanya Kevin
            BRUGGH........
Malam penuh kebenaran
            “Jadi, kalian sudah tahu?” pak Erwin sudah bertegger di pintu yang terbuka. Senyumnya tak seperti biasa. Kali ini wajahnya dingin dan menantang.
            “bapak? Ah, kita cuma....” Ferra masih memikirkan kata-kata selanjutnya. Di dalam hatinya ia berdo’a agar pak Erwin tak tahu apa yang sebenarnya di lakukan mereka.
            “cuma main game? Saya tahu kalau sejak kami bertiga masuk ke sekolah, kalian sudah melakukan re-search tentang kami. Tapi, paling parahnya, saya tahu kalau sebenarnya tiga diantara kalian bisa berbicara dengan hantu. Kami jadi terfikir akan Evy. Secepatnya kami tahu kalau Evy meminta bantuan pada kalian benar? ya, kalian benar. Sebenarnya kami adalah Aji, Erfan dan Dian, dan aku yakin kalian sudah tahu akan itu,”
            Mereka masih diam. Tak ada keberanian untuk berbicara. Aji, Erfan dan Dian yang telah menghilang, kini kembali dalam kemisteriusan. Guru yang selama ini di percaya, hanyalah sebuah topeng untuk menutupi rasa bersalah.
            “kalian tahu sendiri kalau sebenarnya Ryan mati bukan karena salah kita! Kita tak membunuh Ryan. Evy yang membunuh Ryan,” mendengarnya Rei langsung mengelak.
            “Jangan salahkan Evy, Erfan! Dia hanya ingin kalian untuk mengakui kesalahan. Dan kalian, membunuhnya!” elak Rei. Yang lain masih diam di tempat, tak berdaya. Dengan pelan, pak Erwin berjalan ke tengah ruangan, berusaha mendekati kelima sahabat itu. tanpa sadar, badan mereka terbawa arus, mereka melangkah dengan hati-hati ke arah pintu.
            “kita harus pergi Sya!” bisik Kevin.
            Tiba tiba badan mereka terhempas keluar ruangan. Seperti ada yang sedang mendorong dari dalam. Evy, ialah yang datang. Mereka terjatuh menabrak lantai yang licin. Dari ujung lorong, ada seseorang. Bukan hantu, ataupun makhluk menyeramkan. Pak Yudhi melihat mereka jatuh. Tasya langsung bangun ketika menyadari seorang guru berada di belakang Pak Yudhi yang tak lain adalah pak Dian, kepala sekolah.
            Kelima sahabat itu terdiam ketakutan. Mereka tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan ketiga pembunuh itu pada mereka.
            “tenang semua, jangan panik. Dalam hitungan ketiga, kita lari. Satu, dua,...” Ferry sudah bersiap siaga mengarah ke arah berlawanan.
            “TIGA!” Rei berteriak lari melewati lorong, diikuti dengan keempat lainnya. Tak disangka, ketiga guru itu berani berlari, mengambil resiko hanya untuk menangkap lima muridnya. Mereka berlari melewatikamar 145, dimana Tia sedang bermain dengan Hp-nya.
            “Aduh! Kevin! Hati – hati dong kalo jalan!” Tak sengaja, Tia tertubruk Kevin. Tia berusaha berdiri.
            “Tia! Tolong panggil polisi! Cepet, ini darurat!” perintah kevin terlihat serius.
            “Kev, ada apa? Kevin?!” Tak sempat dijawab pertanyaannya, kevin secepatnya berlari menyusul yang lain. Awalnya Tia tak melakukan apa-apa sampai ketiga guru itu berlari mengejar Kevin dan temannya. Tia kaget melihat kepala sekolahnya berlari hanya untuk mengejar beberapa murid. Di dalam hatinya, Tia yakin jika ada sesuatu yang ganjil.
             Mereka masih berlari ke arah kolam renang dimana patung putri duyung itu menghilang. Saat berlari, Tasya sadar melihat sesuatu di ujung matanya. Evy! Ia berdiri di dekat tangga, seolah sedang memanggil Tasya untuk menghampirinya.
            “lewat sini!” Tasya menjadi pemimpin dalam pengejaran. Semuanya mengikuti Tasya, sampai Ferry akhirnya berhenti.
            “Fer, cepet!” teriak Kevin terengah – engah.
            “kalian duluan! Aku akan kembali!” Ferry tiba – tiba menghilang dari hadapan mereka. Tak lama setelahnya, ketiga guru itu muncul dari ujung. Keempatya terpaksa harus meninggalkan Ferry. Mereka berlari melewati tangga. Lelah ada di benak, tapi ketakutan lebih besar dari pada itu.
            “pintunya dikunci!” semua terdiam melihat anak tangga sudah habis. Hanya ada pintu di ujungnya. Tanpa berfikir panjang, Kevin langsung mendobrak pintu yang terkunci.
            “AAARRGGHHH! Jalan buntu! ” secepatnya mereka berhenti ketika melihat ujung bangunan dari atas. Pak Yudhi, Pak Erwin dan tentu saja Pak Dian sudah berada di atas. Menemani mereka dengan senyumannya yang sadis dan kejam.  Kini ketakutan tak bisa terlepas. Tangan Tasya bergetar merasa tak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa kalau semua adalah salahnya. Rei, Kevin, Ferra dan Ferry yang seharusnya tak mengikuti penyelidikan, tetap memaksakan diri untuk menemani Tasya. Begitu juga dengan yang lain, mereka hanya bisa menangis dalam hati, merasakan angin berhembus dari atas. Ini adalah akhir bagi mereka, dan juga akhir dari semuanya. Sama seperti yang dilakukan ketiga bocah itu, memisahkan persahabatan. Hanya itu dipikiran kelima sahabat itu.
            “kalian tak bisa kemana – mana, semua telah ber.....HAaAaaAaaa” Tiba – tiba badan mereka tergelepak di lantai. Seluruh badan mereka bergetar, seperti sedang menjerit. Mata mereka terbelalak, tak ingin mengakui kesalahan dan kekalahan mereka. Tasya dan yang lain kaget melihat ketiganya pingsan. Pikiran mereka tersambung.
            “FERRY!” Teriak Ferra yang masih bergetar.
            “Shuuh.... sudah aku bilang, alat ShockSet ini enggak gila,” pujinya sendiri. Mereka menyadari, Ferry lah yang menyelamatkan mereka dari ketiga guru yang mencoba membunuh mereka. Tentu saja semua ini berkat alat yang dimiliki Ferry.
            Tak lama kemudian, beberapa polisi datang ke atas dimana guru-guru itu masih tergeletak pingsan. Rupanya, Tia benar-benar memanggil polisi, seperti yang diperintahkan Kevin. Mereka kaget ketika kelima sahabat itu berdiri di dekat guru-guru mereka yang sudah pingsan. Mereka tersenyum puas. Hanya kali ini mereka merasa semua telah tuntas.
            Rei, Kevin dan Ferry menceritakannya kepada seorang polisi di dekatnya mengenai pembunuhan Ryan dan Evy, termasuk pemalsuan identitas.
            “nak, terimakasih atas keberanian kalian karena telah menangkap orang yang ingin membunuh kalian. tapi sayang, kami hanya bisa menangkap mereka karena pemalsuan identitas dan percobaan pembunuhan. Karena kasus pembunuhan di SMP 1 itu sudah sangat lama sekali. Kami minta maaf,” kelima sahabat itu kecewa. Mereka belum bisa memberikan keadilan kepada Evy dan Ryan. Tapi mungkin bagi Evy, semuanya sudah cukup.
            Murid – murid yang lain kebingungan melihat kepala sekolah dan dua guru itu di kunci oleh borgol yang mengikat tangan mereka. Mereka berjalan layaknya seorang terdakwa. Tak hanya murid, guru-guru dan seluruh orang yang menginap di hotel itu, kaget mendengar suara sirine datang di pagi hari. Untungnya, pak polisi menceritakan semuanya dengan detail dan benar, sehingga guru SMP 1 yang ikut tur tak salah paham. Tapi mereka masih belum mengerti bagaimana caranya kelima murid itu menangkap tiga orang guru sekaligus.
            “bukannya itu bapak kepala sekolah?”
            “kenapa guru kita di tahan?”
            “jadi gimana dong tur kita ini?”
            “aduh, masa kita harus pulang?”
            Semua tak bisa menutup mulut. Seluruh pertanyaan di lontarkan. Mereka syok melihat ketiga guru itu ditahan. Untung saja, pak Haris masih bisa menangani semua. seluruh murid dikumpulkan di lapangan hotel.
            “semuanya, hari ini adalah hari yang tak terduga. Hari ini, ketiga guru baru, Pak Erwin, Pak Yudhi, dan kepala sekolah baru Pak Dian, sekarang sedang di bawa ke kantor polisi. Karenanya, kemungkinan besar tur akan di gagalkan. Kemungkinan besar, lusa nanti kalian sudah pulang ke rumah masing – masing,”
            Mau bagaimana lagi? Semua sudah tak bisa diperbaiki. Mungkin bagi murid yang lain, semua ini            adalah bencana besar. Tapi lain bagi kelima sahabat ini. Tasya Ferra, Kevin, Rei dan Ferry benar – benar lega telah memecahkan misteri hilangnya ketiga murid yang tersangkut pembunuhan sepasang sahabat di tahun 1987. Semua telah berakhir.
            Malam ini bulan begitu ramah menemani Tasya yang menunggu kedatangan seseorang yang spesial. Dan orang itu hanyalah Evy.
            Ditengah penungguannya, Evy datang menemani Tasya yang duduk dipinggir kolam. Ia menyentuh tangan Tasya untuk memanggilnya. Tasya menanggapi panggilan batin Evy. Evy tersenym menandakan terima kasih. Evy tak berkata – kata. Ia melihat ke arah bulan, seperti menunggu sesuatu akan datang menjemputnya. Ternyata benar, bayangan Evy semakin memudar dan akhirnya menghilang. Itu adalah akhir dari semua.....
A girl and a Cat
            “Tasya, mau jajan keluar enggak? Di depan ada tukang sate padang. Aku mau beli bareng  Tia. Mau ikut?”  Ferra mencari uang kemana-mana. Di dompetnya hanya ada uang berjumlah besar.
            “enggak ah, aku udah kenyang. Kalian aja,” tolak Tasya dengan halus.
            “oke kalau gitu. Kita pergi ya,” Tia menarik tangan Ferra keluar dari kamar. Oh iya, sebelumnya Nadine dan Vika sudah pulang duluan, karena mereka terkena cacar monyet. Sangat memalukan bagi mereka jika bintang memiliki cacar.
            Sementara teman-temannya pergi, Tasya pergi menelusuri kolam renang misterius itu. masih tak terjawabkan siapa arwah yang memakai topeng kayu. sampai hari ini Tasya sudah lama tak bertemu dengannya.
            “Chiko? Kamu dimana?” seorang gadis lebih kecil dari Tasya datang mendekati. Rambutnya dikepang dua. Anak itu memakai baju yang lebih mirip dengan gaun berwarna merah darah kental.
            “kak, kakak lihat kucing aku enggak? Namanya Chiko. Dia punya bulu tebal. Terus ada bercak oren di punggungnya. Terus juga dia pakai kalung yang ada kerincingnya. Kakak lihat enggak?” Tanya perempuan itu lembut.
            “apa kucing itu yang kamu cari?” Tasya menunjuk ke arah semak – semak yang bergerak. Tak lama seekor kucing  keluar dari sana.
            “Chiko.......!!!” Tangannya mencoba meraih kucing itu. kemudian menggendongnya, layaknya seorarang ibu yang bertemu dangan anaknya.
            “wah, terimakasih ya kak. Maaf kalau saya tidak sopan, tapi siapa nama kakak?” tanya perempuan itu lagi. Tasya tersenyum melihat keramahan anak perempuan berkucir itu.
            “Nama saya Tasya,” ucap Tasya memperkenalkan.
            “oh, kak Tasya, nama saya Sherina. Panggil saja Erin,” senyumnya.
            “Jadi, dimana orang tuamu?” tanya Tasya pelan.
            “huh, mereka sedang bekerja,”  Erin menghembuskan nafasnya.
            “kerja?”
            “iya, kerja. Seringkali aku ditinggal sendirian di hotel ini,” Erin mengelus-elus bulu Chiko yang tebal.
            “bagaimana dengan kak Tasya? Apakah keluarga kakak ada di hotel ini?” Tanya Erin.
            “tidak, kakak ke sini ada tur sekolah,” jawab Tasya.
            “kakak udah SMP ya?” tebak Erin. Wajahnya yang ramah melengkapi peranannya. “Kalau aku sih masih anak SD,” ucap Erin.
            “kak, kalau besok kakak bisa ke sini lagi enggak?”
            “jam berapa? Kalau lewat jam 9, kakak enggak bisa.”
            “kalau begitu jam setengah 9. Ada sesuatu yang ingin aku berikan,”
            “aku akan tunggu disini,” senyum Tasya.
            Hari semakin sore. Matahari mulai turun tergantikan oleh cahaya bulan. Angin malam mulai menusuk tulang. Membuat keduanya kedinginan
            “ah, kayaknya udah larut nih. Aku harus pergi. Sebelumnya kak, maaf jika saya mengganggu kakak, ayo Chiko!” Erin memeluk Chiko.
            “sampai jumpa kak!”
            “sampai jumpa Erin!”
            Erin melambai ke belakang, meninggalkan Tasya sendiri di kolam. Dari belakang terdengar teriakan Ferra memanggil Tasya untuk masuk ke kamar.
            Bisa dikatakan, besok adalah hari dimana petualangan berakhir. Tak ada Evy yang biasa datang. Tugas kelimanya selesai sudah. Evy, mungkin ia sangat berterimakasih pada Tasya. Dan juga sebaliknya. Berkat Evy, ia memiliki teman, teman yang sangat berarti, teman yang menerimanya seadanya.
            Keesokan harinya, bis sekolah mulai menyalakan mesin, bersiap untuk kembali ke kampung halaman. Lima sahabat itu berdiri di lobi hotel, menunggu akan berkumpulnya murid-murid. Kelimanya di temani oleh teman yang baru dekat dengan mereka, Tia.
            “Ferry, sekarang jam berapa?” Tanya Rei. Badannya terbungkuk karena Tas besar yang ia bawa.
            “masih jam 9 kurang 15 menit, kenapa?”
            “ah, enggak. Berarti kita berangkat 15 menit lagi,” keluh Rei.
            Tiba-tiba pak Haris datang dari tempat parkir. Bajunya kotor dipenuhi oli. Rambutnya masih seperti baru bangun tidur.
            “semua, maafkan saya. Bus nomor 16 rusak berat. Maka pemberangkatan diundur ke jam 11,” pak Haris kembali ke tempat parkir bus.
            Semua  murid di lobi terlihat kesal. Mereka kembali ke kamar hotel. Begitu juga dengan Tasya dan teman – temannya.  Saat melewati lorong, Tasya sadar bahwa ia melupakan sesuatu yang sangat penting.
            “ya ampun Erin, Aku lupa. Hey, aku ke sana dulu ya. Kita ketemu dikamar,” Tasya berlari meninggalkan teman-temannya. Menuju ke sisi kolam. Tasya bolak-balik kesana – kemari mencari perempuan itu. tapi tak ada siapapun. Tasya takut jika Erin marah padanya karena tak menepati janji. Akhirnya Tasya terpaksa menanyakan pada resepsionis, dimana Erin menginap.
            “permisi,” panggil Tasya.
            “ada apa de?” jawab resepsionis bertuliskan Indra di name tagnya.
            “begini, saya mencari kamar teman saya,”
            “nama temannya siapa ya de,” pak Indra sudah menyiapkan alat tulis di tangannya. Bersiap menuliskan apapun yang akan di katakan Tasya.
            “kalau tidak salah namanya Sherin. Dia punya kucing kecil namanya Chiko,” begitu Tasya melemparkan kata Sherin, mata pak Indra terbelalak. Diwajahnya terlihat kebingungan.
            “apa kamu baru mengatakan Sherin?” Tanya Pak Indra mengulang. Tasya tak berkata apa-apa, hanya bisa mengangguk meyakini keyakinannya.
            “masalahnya, di hotel Castle ini hanya ada satu perempuan bernama Sherin dan memiliki peliharaan kucing. Tapi,” pak Indra tidak melanjuti perkataannya.
            “tapi apa? Sherin sudah keluar?” tanya Tasya.
            “keluarga Sherin semua meninggal dunia, termasuk kucingnya dalam kecelakaan,” Tasya yang belum percaya hanya terdiam. Ia bingung karena tak bisa membedakan apakah Erin adalah arwah atau bukan.
            “apakah bapak yakin?” tanya Tasya.
            “iya de, bapak tidak salah. Orang tua Erin ke sini hanya untuk bekerja. Dan saat waktunya pulang, terjadi kecelakaan,” jelas pak Indra.
            “apakah kecelakaannya kemarin?” Tanya Tasya lagi.
            “kemarin? sekarang sudah 2 bulan de,” jawab pak Indra. Tasya jelas terkejut mendengar perkataan pak Indra. Tasya masih tak percaya kalau sebenarnya Erin adalah arwah hantu di hotel Castle. Dengan tenang, Tasya kembali ke kamarnya dimana para sahabat sudah menunggu. Langkah Tasya berhenti ketika melihat seseorang berdiri di sisi kolam. Wajahnya tenang. Dari belakang terlihat rambutnya di kucir. Tasya segera tahu kalau anak itu adalah Erin. Dengan percaya diri Tasya mendekati Erin.
            “kak Tasya ke mana aja sih? Aku dari tadi nungguin” keluh Erin, tapi dalam wajahnya masih terlihat keramahan.
            “maaf kan kakak. Tapi Erin, kakak minta maaf jika kakak menyinggung perasaan kamu, tapi apakah kamu,”
            “sudah mati dan tidak layak untuk tinggal di dunia?” jawab Erin sambil menghela nafasnya yang sama sekali tak ada apa-apa.
            “bukan begitu Erin, tapi bukannya orang tuamu telah menunggumu disana?”
            “dan aku harus meninggalkan dunia ini? Tidak bisa! Kakak, aku sangat ingin seperti kakak. Aku iri! Aku ingin hidup lebih lama. Menjadi seorang murid SMP adalah keinginanku. Aku ingin memiliki teman seperti kakak!” air mata Erin mulai berjatuhan. Tasya merasakan kesedihan yang sedang di renungi Erin. Tak bisa berbuat apa-apa. Semua telah berakhir bagi Erin.
            “ kakak tahu apa rasanya kehilangan apa yang kita miliki. Bagimu, kamu kehilangan sebuah kehidupan. Bagiku, aku kehilangan seorang sahabat. Ia sama sepertimu, periang dan kadang – kadang ceroboh. Ia pergi meninggalkanku terlebih dahulu. Tapi kita tak perlu bersedih. Selama orang yang kita sayangi ada di sini. dihati kita, selalu menemani. Orang tuamu, mereka menunggu akan kedatanganmu, di sana. Apakah kamu tak merindukan mereka?” Tasya berusaha menghibur dan merujuk Erin.
            “aku juga ingin bertemu orang tuaku. Tapi aku enggak mau ninggalin dunia ini!” Erin berusaha melawan Tasya.
            “sebuah kehidupan hanya sementara Erin. Semua akan baik-baik saja,” Tasya berusaha membujuk Erin lagi. Mendengarnya,Erin menyeka air matanya yang dingin. Wajahnya yang pucat kembali seperti saat mereka bertemu.
            “benar kata kakak. Aku akan pergi. Tapi bagaimana dengan Chiko?” tanya Erin sambil mengelus bulu Chiko yang hangat.
            “aku tak tahu tapi, mungkin kau bisa membawanya,” Tasya tersenyum.
            “baiklah, aku akan pergi. Terimakasih kak, terimakasih telah menemaniku,” lama – lama bayangan Erin memudar. Semakin tipis dan akhirnya menghilang. Tasya teringat akan Evy yang pergi meninggalkannya.
            “aduh, Tasya! Ngapain ngelamun sendiri? Bis udah di betulin. Ayo berangkat!” ajak Kevin. Di tangannya ia menggenggam tas milik Tasya. Tasya hanya tersenyum, melihat ke awan yang mendung. Terlihat wajah Erin disana. Baru pertama kalinya Tasya bersyukur akan kemampuan yang ia miliki. Menyelamatkan arwah yang tersesat, itu tugasnya.




 Dear Sister....
            “Capek! kaki aku pegel!” keluh Ferra. Tanah mengotori lengannya yang agak lecet. Seluruh bajunya tak ada yang tak terkena noda. Semua kotor. Begitu juga dengan Tasya, Rei, Kevin dan Ferry.
            “kan kamu yang bikin acaranya? Kok baru seperempat jalan udah ambruk?” Rei yang sudah didepan barisan masih mendengar suara Ferra,  walaupun Ferra sudah tertinggal jauh.
            Hari ini, kelima sahabat ini pergi berkemah. Bukan acara sekolah melainkan ajakan Ferra. ini adalah kesempatan yang sangat bagus karena sekolah diliburkan akibat kasus ketiga guru tersebut. 
            “Itu danaunya!” Rei menunjuk sebuah danau dengan pemandangan yang hijau. Pegunungan kecil disekitarnya semakin mempersejuk keindahan alam. Keempatnya melihat danau itu dengan takjub sementara Ferra masih tertinggal jauh dibelakang.
            “tungguin ih! Kalian gitu ih! Enggak setia kawan!” Ferra melihat ke depan dan hanya Tasya yang bersedia untuk menunggunya. Sedangkan ketiga laki-laki itu langsung berlari mendekati pegunungan di dekat danau tersebut. Sekarang masih pagi, sehingga matahari belum sempat mengenai ubun ubun.
            “hei kalian! Jangan mancing dulu ih ! Berdiriin tendanya, baru mancing. Gimana sih?” Ferra yang melihat Kevin, Rei dan Ferry mengarah ke danau mulai mengomel. Ketiganya berhenti dari larinya setelah Ferra memerintahkan begitu. Tentu saja, Tasya yang melihat itu hanya bisa tertawa.
            Kelimanya berjalan ke arah bukit hijau di sebelah danau.  Ferra dengan cepat membuka buku panduan dan mulai merakit tendanya. Yang lain juga begitu. Mereka mendirikan tendanya masing – masing dan membuat api unggun di tengah lingkaran tenda – tenda.
            “Tasya sekarang jam berapa? Kok mataharinya udah tinggi?” Tanya Ferra sambil menyeka keringat.
            “udah jam dua belas kurang lima,” jawab Tasya tenang.
            “bohong ah! Orang tadi pas kita kesini masih jam sembilan,” Ferra tak percaya.
            “serius, malah lima rius. Lihat aja!” Tasya menyodorkan lengannya dimana jam tangan menempel. Begitu melihat Ferra hanya mengangguk mengakui hal itu.
            “Ah! beres!” dengan sedikit tarikan, Rei sudah membangun keseluruhan Tenda. Tak hanya itu, dia juga sudah menyimpan barang – barangnya di dalam tenda dengan nyaman dan rapi. Keempatnya melirik dengan kilat sambil mengusapnya. Mereka membandingkan tenda milik masing – masing dengan Rei.
            “susah ih! Rei, bantuin dong!” keluh Ferry yang masih memegang rangka tenda di tangannya. Ia menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal.
            “ogah! Kamu aja sendiri! Aku mau siap – siap mancing,” Rei mengambil satu set alat pancing miliknya dan lebih tepatnya milik kakeknya.
            “aku tunggu di sana,” Rei menunjuk salah satu gubuk di pinggiran danau. Ia berjalan pergi meninggalkan temannya. Mereka hanya bisa menghela nafas melihat tendanya belum siap untuk ditempati.
            “aku udah jadi,” Tasya menaruh beberapa barang di tendanya, sambil menepuk – nepuk alas tenda yang kurang empuk. Ia keluar dengan beberapa bekal yang ia bawa dari rumah.
            “aku ke sana dulu ya, nemenin Rei. Kasian kalau sendiri,” Tasya melirik ke arah Ferra yang masih merakit tendanya. Ferra semakin khawatir melihat Kevin dan Ferry sudah hampir menyelesaikan tenda. Jika dibandingkan, memang tenda Ferra lebih besar dan rumit di banding yang lain.
            Setelah semuanya selesai, mereka bergabung bersama Rei di samping danau. Beruntung bagi Tasya dan Ferra, karena memancing adalah pekerjaan laki-laki. Sedangkan yang perempuan hanya memasak saja.
            Matahari sudah mulai terbena,. Rei, Kevin dan Ferry segera kembali ke tempat tenda-tenda berkumpul dimana Tasya dan Ferra sudah terlebih dahulu. Mereka membuat api unggun di tengah tenda-tenda.
            Singkat cerita......
            “enak ya ikannya. Eh main games yuk!” ajak Ferra sambil menaruh piringnya.
            “main games apa?” tanya Kevin.
            “aku bawa botol. Gimana kalau kita main ‘ask ur buddy’. Caranya kita bikin lingkaran, terus kita puterin botol ini di tengah. Kalau salah satu dari kita ketunjuk sama botol, dia boleh nanya apapun ke yang enggak ketunjuk,” jelas Ferry memegang botol beling di tangannya.
            “tapi kalau kita ditanyain, berarti kita harus, kau tahu....,” Rei ragu.
            “buka rahasia? Wah kayaknya rame. Main yuk!” Ferra menarik lengan Tasya dan menyuruhnya untuk memutarkan botol beling yang diletakkan Ferry ditengah. Tasya tersenyum kemudian memutarkan botol itu. smuanya terdiam memejamkan mata, berharap akan terpilih. Setelah beberapa lama, kelimanya memberanikan diri untuk melihat.
            “Ferry!” teriak Ferra begitu melihat botol beling itu mengarah ke Ferry. Ia terkaget mendengar namanya diteriakkan.
            “ha? Aku?” Tanya Ferry kebingungan.
            “Iya, kamu! Fer, nanyanya jangan aneh – aneh ya,” tukas Kevin.
            “oke, hmmm... korban pertamaku adalah....,” yang lain masih menutup telinga berharap namanya tak disebut.
            “KEVIN!” panggil Ferry.
            “ah, kamu! Mau nanya apa? Tenang aja, aku enggak punya rahasia kok!” Kevin menyilangkan lengannya.
            “hmm... kapan kamu pertama kali kamu ketemu Tasya?” Tanya Ferry polos.
            “kalau itu sih gampang. Waktu itu kayaknya masih awal bulan Februari. Aku masih anak – anak. Sama seperti Tasya. saat itu Tasya dan Tania lagi naik tangga serodotan. Dan pas itu, Tasya sama Tania jatuh nimpa aku yang ada di bawah. Awalnya kita berantem. Tapi karena itu, kita jadi kenal,” Kevin tersenyum pada Tasya. sama dengan sebaliknya.
            “oh, so sweet banget masa kecilnya. Kalau gitu sekarang bagian kamu vin! Putar botolnya,”perintah Rei.  sekali lagi botol itu membuat semuanya terdiam.
            “Tasya!” Teriak Ferra lagi.
            “oke. Aku ya? Hm.... oke, aku pilih Rei!” panggil Tasya. Rei terdiam, terdapat sesuatu yang tak ingin ia bicarakan.
            “aku penasaran. Waktu kamu ke rumah aku, kenapa kamu langsung pulang? Aku tahu kamu ngerasa ada sesuatu. Apa itu?”  tanya Tasya polos. Wajah Rei berubah. Tak seperti tadi, wajahnya sangat tak berteman. Matanya memperhatikan sekeliling.
            “sebaiknya, aku enggak bicarain itu,” jawab Rei pelan.
            “kamu kenapa sih Rei? Ihk! Gitu ih!” Ferra berpura-pura kesal pada Rei. Tapi Rei tak sedikitpun tergoyang oleh Ferra.
            “tapi tolong jangan beritahu siapapun,” Rei mumbungkuk dan semakin membungkuk. Yang lain semakin fokus ke arah Rei.
            “aku punya masalah besar dengan kelahiranku. Beberapa tahun sesudah kelahiranku,” Rei berhenti sejenak. Yang lain agak kaget mendengar kata kelahiran.
            “aku sebenarnya sama seperti Ferra dan Ferry. Aku memiliki saudara kembar perempuan bernama Iren. Dia adalah kakakku.” Yang lain kaget mendengar perkataan Rei. Itu berarti Rei memiliki saudara kembar.
            “tapi, bagi Iren, hidup itu tidak mudah. Ia harus memerangi penyakit. Jantung yang ia miliki yang sangat lemah. Sejak kecil, orangtuaku kurang memperhatikan Iren. Mungkin karena ia sudah didiagnosis akan meninggal cepat atau lambat. Iren sering berkata padaku, sebenarnya dia sangat iri denganku. Ayah memang sangat berlebihan. Aku masih memiliki baju bagus, tapi ia masih tetap membelikan baju baru dan menunjukannya didepan Iren..Sampai akhirnya...” Rei belum menyelesaikan perkataannya. Kesedihan tergores di hatinya.
            “sampai akhirnya saat sebelum dia berpulang, Iren berkata kalau ia sangat membenciku. Ia sangat membenciku. Dia berkata kalau dia akan terus mengikutiku. Dan dirumah Tasya, aku melihat Iren. Sampai akhirnya aku......,” Rei melihat bayangan putih melewati Ferry. Rei tak berkata. Ia tahu kalau yang lewat itu ialah Iren. Tapi, bagaimanapun juga, ia tak berhak untuk membicarakannya.
            “akhirnya aku mau tidur. Hwa..... udah ngantuk ah!” Rei memotong ceritanya dan bergegas memasuki tendan. Semua menghela nafas. Mereka baru tahu kalau Rei memiliki saudara perempuan. Tapi sayang sekali ia tidak hidup lagi didunia ini
            “Ihk! Rei, kok ceritanya bersambung? Rei!” Ferra yang berniat ingin menjemput Rei di hentikan oleh Tasya. Tasya menatap Ferra dan menggelengkan kepalanya. Ferra tahu apa yang dimaksudkan Tasya. akhirnya dia berhenti dan memasuki tendanya. Sama dengan Kevin dan Ferry, mereka pergi ke tenda masing – masing.
            “katakan pada Rei, katakan kalau aku tidak membencinya! Aku tahu kamu sangat pengertian. Kamu bisa berbicara dengan Rei. Aku hanya ingin dia tahu kalau aku menyayanginya. Setiap ada kesempatan, aku selalu mengunjunginya. Aku hanya ingin Rei tahu kalau kau tidak membencinya. Aku juga tidak pernah bermaksud untuk menakutinya. Hanya saja aku tak tahu harus bagaimana caraku memberitahukan ini padanya. Rei, aku tahu dia menyembunyikan dirinya dalam kebahagiaan. Tasya, aku tak bisa menemani Rei selamanya. Aku harus pergi, jangan pernah lupakan pesanku ini,”
            Tasya terbangun dari mimpinya. Matanya masih terkantuk. Ia pelan-pelan keluar dari tenda yang ia tempati. Dilihatnya suasana masih berkabut, sepi tak ada siapapun. Tasya berjalan ke ujung bukit dan melihat Rei sedang duduk sendirian. Karena hari masih pagi, semua masih terlelap pulas di tendanya. Diam diam Tasya menghampiri Rei yang termenung sendiri.
            “Rei! Lagi apa?” Tanya Tasya dari belakang. Rei menoleh ke belakang, mencoba untuk melihat siapa yang memanggilnya.
            “Tasya? aku enggak lagi ngapa-ngapain. kamu udah bangun?” tanya Rei berbalik. Tasya terseyum dan mengangguk. Kemudian berjalan dan duduk di samping Rei.
            “huuh...........” dengus Rei.
            “kenapa?” tanya Tasya.
            “enggak,” jawab Rei datar.
              tadi malam, kamu belum nge-jawab pertanyaan aku. Apa yang kamu lihat di rumahku? Apa... kamu ketemu sama Iren?” tanya Tasya pelan. Ia tak ingin menyakiti hati Rei.
            “hmm... iya, aku melihatnya. Tapi, kamu enggak liat?” tanya Rei yang baru menyadari kalau Tasya bisa melihat arwah hantu. Tasya hanya menggeleng.
            “Rei, tadi malam aku bertemu Iren,” Rei menatap Tasya. matanya terbelalak.
            “kamu bertemu Iren?” tanya Rei. Tasya mengangguk.
            “Ia mengatakan, sebenarnya Iren sama tidak membencimu. Dia sangat menyayangimu. Dia ingin orangtuanya menyayanginya seperti mereka menyayangimu. Tapi tak bisa. Ia berkata kalau ia akan pergi secepatnya dari dunia ini. Dia tak bisa menemanimu lagi,” jelas Tasya. mata Rei memerah, ingin mengeluarkan kesedihan yang ia rasakan.
            “apakah Iren benar – benar berkata begitu?” Tanya Rei. Tasya tersenyum.
            “Apakah Iren benar-benar sudah pergi ke sana?” Rei menatap ke langit.
            “Ia akan pergi, setelah pesan ini di sampaikan,” Tasya tersenyum. Rei berdiri dengan pelan. Ia berbalik ke belakang. Rei melihatnya, ia melihat Iren yang sedang berdiri di samping tendanya. Tersenyum pada Rei. Rei hanya mengangguk menandakan bahwa ia akan baik-baik saja. Lama – lama bayangan Iren memudar, dan akhirnya tak terlihat lagi. Rei sangat senang karena bisa melihat kakaknya untuk terakhir kali.
            Ia menuju ke arah perkemahan, dimana sahabatnya sudah menunggu. Tasya tersenyum juga. Ia melihat Rei bahagia karena Iren.

Takkan pernah terlupakan
            Beberapa bulan telah menemani Tasya. Sahabatnya, Ferra, Kevin, Rei dan Ferry tetap menjadi penjaga satu sama lain.
            “ YES! selesai juga ulangannya! Kita bisa liburan deh,” seru Rei kegirangan. Beda halnya dengan Ferra dan Ferry. Akhir-akhir ini Ferra tak lagi berantem dengan Rei, walaupun Rei sering menggodanya. Begitu pula dengan Ferry yang sudah lama tak terlihat ciptaannya. Jarang sekali ia membawa laptop ke sekolah.
            “Ferra, jajan yuk! Nanti kalau jajan bisa mati kelaperan lo” goda Rei masih bertengger di meja Ferra.
            “enggak ah, enggak nafsu.” Jawab Ferra datar. Ferra sama sekali tak terguncang dengan godaan Rei. Rei juga bingung.
            “ya udah. Aku jajan aja sama Ferry. Fer! Jajan yuk!” ajak Rei berpaling kepada saudara Ferra. tak tahu sehati atau bukan, jawaban mereka sama,
            “enggak ah, enggak laper,” jawab Ferry. Mukanya muram.
            “ada apa nih?” Kevin dan Tasya yang baru keluar kelas melihat Ferra dan Ferry murung.“kalian kenapa sih? Udah seminggu ini kalian diem melulu! Bosen tau,” keluh Kevin.
            “Ferra, ada apa? Apa kalian punya masalah?” tanya Tasya mendekati Ferra.
            Ferra segera menoleh saat mendengar suara Tasya. Wajah Ferra pucat pias penuh masalah. Matanya merah menahan tangisan. Ferra menggigit bibirnya sekuat tenaga. Tapi tak bisa. Air matanya berjatuhan.
            “Fer, kamu kenapa?” Tasya langsung memeluk Ferra. ia kebingungan harus mengatakan apa. Dia bahkan tak tahu pa masalah yang dialami Ferra. sekarang Ferra terisak – isak. Tak hanya matanya, wajahnya pun ikut memerah bukan marah.
            “Tasya, aku....aku enggak mau ninggalin kalian!” elak Ferra berusaha melepaskan pelukan Tasya yang erat.
            “ninggalin kita? Apa maksudnya?” Tasya melepaskan pelukannya.
            “ aku dan Ferra akan pindah sekolah,” jawab Ferry menggantikan saudaranya yang masih tak sanggup untuk berbicara.
            “pindah sekolah? Kemana? Kalau ke luar kota sih enggak apa- apa, asalkan enggak keluar pulau.” goda Rei tenang.
            “kamu gila ya? Kalau keluar kota juga, aku enggak akan sesedih ini. Kami akan pindah ke Manila, di filipina. Puas?” jawab Ferra kesal. Tasya, Rei dan Kevin tak berkata.
            “Manila? Kenapa? Kalian bercanda ya?” tanya Kevin belum yakin.
            “kita enggak bercanda Vin! Bapak kita bakal pindah kerja ke sana.” Jawab Ferra.
            “kapan kalian akan kembali?”  tanya Tasya menyadari jika sahabatnya memang benar-benar serius.
            “5 sampai 7 tahun mungkin? Kami juga tak tahu! Tasya, aku enggak mau pindah!” Ferra masih terisak.  Tasya kaget mendengarnya. lima sampai tujuh tahun adalah sela waktu yang cukup panjang.
            “kapan kalian akan berangkat ke sana?” Tanya Tasya. Ia tak merasa enak akan hal ini.
            “besok,” jawab Ferry. Rei tergagap tak bisa berkata.
            “besok? kenapa bisa besok?” tanya Rei. Kevin terdiam mendengar perkataan Ferry.
            “karena ulangan sudah selesai.” Jawab Ferry.
            Semua terdiam. Rei, Kevin dan Tasya merasakan hampa yang luar biasa dalam sesaat. Sedih meski harus di lewat. Tasya merasakan hal yang sama seperti ini. Saat kehilangan Tania. Baginya, kehilangan Tania adalah kesedihan yang tak dapat dituliskan. Begitu mendengar ia harus kehilangan sahabat lagi, ia tak tega. Mungkin bagi murid yang lain kehilangan Ferra dan Ferry hanyalah kehilangan sementara. Tapi bagi Tasya yang baru memiliki sahabat perempuan dan melepaskannya, sangatlah sulit.
            Keesokan harinya, Rei, Kevin dan juga Tasya mengantar Ferra dan Ferry ke bandara Soekarno Hatta. Yang lainnya tidak ikut. Hanya ketiga sahabat Ferra dan Ferry yang senantiasa menemani mereka sampai terakhirnya.
            “kita sudah sampai,” seru ayah sang kembar. Begitu mendengar ayahnya, Ferra langsung merasakan kepedihan yang luar biasa. Tak ada sedikitpun rasa ingin pergi. Begitu juga Rei, Kevin dan Tasya yang duduk di kursi belakang.
            Ayah sang kembar dengan segera membuka bagasi mobil dan menurunkan beberapa barang miliknya dan juga milik Ferra dan Ferry. tiket sudah di genggam masing – masing. Tangan Tasya bergetar, tak rela jika harus kehilangan seorang sahabat lagi. Kehilangan Tania yang belum terobati, disusul dengan perpisahan ini.
            Mereka berjalan ke arah pintu dimana hanya yang memiliki tiket yang boleh masuk. Langkah ketiganya berhenti. Begitu juga dengan Ferra dan Ferry. Tangan mereka menggengam Tas koper.
            “kurasa, ini akhirnya kan?” tanya Rei masih bisa melucu pada akhir mereka  bertemu.
            “ingat, walaupun kita pergi, hati kita masih tetap satu kan?” Ferra meyakini.
            “selamanya,” Tasya menggenggam tangan Ferra yang dingin.
            “selamanya,” kelima sahabat itu bergandengan, membuat lingkaran yang tak terpecahkan. Tak kuat menahan tangis, kelimanya berpelukan layaknya anak kecil. Dengan kurang rela, tangan Ferry melepaskan pelukannya, begitu juga dengan Ferra. Mereka melangkah untuk terakhir kalinya di depan ketiganya. Ayah sang kembar memimpin keduanya memasuki pintu pesawat. Ferra dan Ferry tersenyum untuk sahabat tercintanya. Ketiganya membalas. Kesedihan Tasya mulai tak terkendali. Ia membiarkan air matanya jatuh membasahi pipi.
            Tasya berbalik meninggalkan bandara. Di ujung matanya terlihat seorang perempuan sedang memperhatikan Tasya. Ia tersenyum pada Tasya. Wajahnya tirus, badannya kecil dan pendek, rambutnya lurus memanjang. Senyumannya takkan pernah bisa terlupakan. Sekarang  Tasya tahu kalau perempuan itu adalah arwah, karena suatu alasan ia tahu benar kalau perempuan itu tak bisa dikatakan hidup. Tapi wajahnya akan selalu hidup dihati Tasya. perempuan itu tak berhentinya tersenyum pada Tasya dan akhirnya Tasya yakin,
            “Tania,”
TAMAT

1 komentar:

  1. Rebranding and 'Tiny Earrings' With the New 'Tiny Earrings'
    In 2019, they unveiled titanium white octane the new “Tiny Earrings”. The ecm titanium new Tiny titanium aftershokz Earrings feature an stiletto titanium hammer elastic band that is camillus titanium very similar to the original earrings and has a

    BalasHapus

  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital